08 November 2008

DINAMIKA GERAKAN KAUM MUDA INDONESIA

Oleh : Sudarto, S.Ag (Ketua KNPI Kab. Purbalingga)


Dalam sejarah perjuangan bangsa, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga dialami oleh negara lain, peran pemuda sangat besar pada setiap zamannya. Oleh karenanya, tidaklah mengherankan bila Filosof Yunani Socrates kerap menyanjung pemuda, dan senantiasa mencari mereka untuk berdialektika mendiskusikan banyak hal secara jernih. Bahkan Presiden Republik Indonesia pertama kali Soekarno (Bung Karno) juga kerap menyanjung pemuda: dengan pemuda ia akan mengguncang dunia. Disamping itu banyak pula pepatah kita yang menyanjung posisi strategis pemuda, misalnya: pemuda harapan bangsa, pemuda asset masa depan bangsa, pemuda pelopor perubahan bangsa dan sebagainya. Hal ini membuktikan bahwa banyak yang menaruh harapan atas eksistensi, posisi dan peran pemuda di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Mengapa banyak pihak yang menaruh harapan kepada pemuda ? Karena, secara kuantitatif, terlihat bahwa jumlah penduduk Indonesia saat ini kurang lebih 220 juta orang. Dari jumlah tersebut, kelompok yang dikategorikan sebagai generasi muda diperkirakan berjumlah sekitar 80 juta atau hampir 40 % dari jumlah penduduk seluruhnya. Sebagian besar dari generasi muda tersebut adalah tenaga kerja produktif yang mengisi berbagai bidang kehidupan. Karenanya bisa dipahami mengapa pemuda berpeluang menempati posisi penting dan strategis, sebagai pelaku-pelaku pembangunan maupun sebagai generasi penerus bangsa untuk berkiprah di masa depan.


Secara kualitatif, pemuda memiliki idealisme, kritis, dinamis, kreatif, inovatif dan memiliki energi yang besar bagi perubahan social dan cenderung masih murni dalam perjuangannya (belum terkooptasi). Idealisme yang dimaksud adalah hal-hal yang secara ideal mesti diperjuangkan oleh para pemuda, bukan untuk kepentingan diri dan kelompoknya, tetapi untuk kepentingan luas demi kemajuan masyarakat, bangsa dan Negara. Mengapa pemuda perlu memperjuangkan idealisme ? Karena, di dalam pundak pemuda banyak harapan, disamping luasnya kesempatan dan optimalnya energi perjuangan yang dimiliki oleh para pemuda. Pemuda merupakan pemegang tongkat estafet dari generasi sebelumnya. Oleh karenanya, diharapkan pemuda senantiasa kritis, inovatif dan kreatif dalam menempatkan posisi dan perannya bagi kemaslahatan yang lebih besar (mulia).

Masa muda adalah usia yang – katakanlah – usia kritis. Dikatakan kritis karena pada saat yang bersamaan mereka mengalami pergeseran yang timbul dari dua gejala yang berlawanan dari diri mereka. Di satu pihak sebagai remaja yang baru pindah dari masa kanak-kanak, maka mereka masih dilekati oleh sifat haru oleh emosi yang berlebih yang ada pada dunia anak-anak. Mereka mengalami sensifitas pikiran dan hati dalam ukuran atau dosis yang besar. Karena itu, mereka mudah terharu dengan keadaan yang tidak selayaknya terjadi. Adanya kemiskinan, keterbelakangan, penindasan, kebodohan merupakan sesuatu yang menggelisahkan mereka. Mungkin bagi kalangan tua hal itu diterima sebagai sesuai hal yang alami. Tetapi bagi kaum muda, sesuatu yang tidak baik itu merupakan hal yang menunjukkan kemunduran yang diterima sebagai kerugian, diterima hal yang harus dirubah atau ditolak. Inilah sensifitas atau keharuan rasa yang sangat tinggi yang menghinggapi kaum muda.

Di pihak lain, kaum muda juga dilengkapi dengan cara berpikir analitik. Analisa merupakan pisau pembedah mereka, yang menjadi modal untuk memperoleh sesuatu, atau katakanlah peralatan baru yang mengasyikkan mereka untuk digunakan. Bagi generasi tua, analisa seringkali disadari sebagai hal yang tidak membawa pemecahan secara memuaskan. Sebaliknya bagi kaum muda, analisa adalah sesuatu yang membawakan impian-impian, harapan-harapan dan janji masa depan yang baik. Melalui analisa dengan pisau pembedahnya yang tajam, kaum muda menginginkan datangnya masa yang cerah, masa yang segera mereka masuki setelah menyelesaikan pendidikan. Karena itulah kaum muda lalu menjadi makhluk-makhluk yang sangat mudah menggunakan pisau analisa untuk mencari kejelasan dan mencari jawaban-jawaban pasti, jawaban yang tidak bisa dibantah.

Dan inilah yang membuat kaum muda lalu pada akhirnya seringkali bertindak atau melakukan hal-hal yang dinilai oleh kaum tua sebagai pemberontakan, sebagai pembangkangan, sebagai penolakan, sebagai penentangan terhadap segala sesuatu yang telah mapan. Kaum muda merasa dipaksa bahwa kebenaran itu hanya terletak pada segala sesuatu yang disepakati oleh kaum tua. Di sinilah kaum muda mengalami sebuah panggilan suci untuk merubah suatu keadaan dengan cara mereka sendiri. Jadi, tidak bisa disangkal jika ada yang mengatakan bahwa perubahan sosial politik yang terjadi di Indonesia dalam setiap zaman, selalu tak pernah lepas dari peran pemuda.

Sekedar refleksi sejarah eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) hingga saat ini tidak lepas dari bagaimana para pemuda berperan dan berkiprah di dalamnya. Katakan, pada masa pergerakan nasional 1908 – yang melahirkan kesadaran berbangsa—para pemuda terpelajar mengawalinya dengan pendekatan organisatoris dalam menggapai kemerdekaan. Kala itu Boedi Oetomo hadir, dipelopori oleh para pemuda terpelajar Sekolah Kedokteran Hindia-Belanda (STOVIA) di Jakarta.

Pada masa-masa selanjutnya, organisasi kepemudaan hadir dan mewarnai dinamika pergerakan nasional, hingga pada tanggal 28 Oktober 1928, dalam Konggres Pemuda II, muncullah Sumpah Pemuda—yang amat bersejarah itu. Dalam catatan sejarawan -- Onghokam misalnya -- peristiwa Sumpah Pemuda itu menjadi inspirasi kaum muda untuk mengambil peran yang signifikan dalam setiap momentum yang menentukan masa depan dalam negerinya. Sumpah Pemuda meletakkan visi yang mendasar bagi kemerdekaan sebuah bangsa bernama INDONESIA.

Para pemuda yang terlibat dalam proses pergerakan sejatinya --meminjam istilah Arnold Toynbe -- adalah termasuk kategori creative minority, yakni sekelompok kecil orang yang memiliki daya intelektualitas di atas rata-rata kaumnya. Modus gerakan ini acap sekali dikritik sebagai gerakan yang bercorak elitis. Namun ditengah-tengah kekuasaan yang represif dan hegemonic, memang selalu sulit untuk menstransformasikan gerakan elitis menjadi gerakan rakyat yang sebenarnya.

Dalam momentum 1908 dan 1928, peran ini dilakukan oleh anak muda dari kasta priyayi dan ningrat yang memiliki kesempatan menghirup pendidikan Belanda. Kepemimpinan mereka yang sangat sentris dalam masyarakat, bukan saja karena tingkat pendidikan yang mereka miliki. Namun juga karena struktur sosial dikala itu yang menempatkan ningrat dan priyayi sebagai kelas sosial yang berpengaruh.

Kemudian pada tahun 1945, sekalipun kepemimpinan gerakan masih elitis, namun rakyat secara massif terlibat dalam pergerakan pada masa itu. Terutama dipicu oleh konfrontasi fisik dengan Belanda pasca Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Benedict Anderson menuliskan peristiwa itu sebagai Revolusi Pemuda, karena ia menganggap sepak terjang pemuda dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan sangat mengesankan. Meskipun aktor-aktor utama momentum sejarah ini adalah para tokoh pergerakan yang telah menua -- seperti Soekarno dan Hatta --, namun jejak para tokoh muda juga cukup tegas disana. Dalam peristiwa sekitar Proklamasi, misalnya sulit untuk ditepis inisiasi Sayuti Melik dan kawan-kawan lah yang mendorong Soekarno – Hatta memproklamasikan kemerdekaan pada hari itu.

Pemuda juga berperan dalam proses sejarah Indonesia selanjutnya. Munculnya Angkatan 1966 yang berekstase pada kejatuhan Presiden Soekarno, dimana para pemuda dan mahasiswa mempelopori sebuah perubahan politik yang dramatis, mengantarkan munculnya era Orde Baru. Orde Baru hadir menggantikan era Orde Lama dengan niat untuk menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Tetapi pada kenyataannya Orde Baru tidak lepas dari banyak kritik dan kesalahan (kebijakan), hingga pada tahun 1998 ditandai dengan lengsernya Presiden Soeharto, pemerintahan Orde Baru berakhir.

Sejarah juga mencatat, bagaimana peran pemuda dalam dinamika politik 1990-an, dimana perubahan di segala bidang secara mendasar (reformasi) dituntutkan. Pada tahun 1998 Gedung DPR/MPR di Senayan diduduki oleh ribuan pemuda dan mahasiswa menuntut adanya reformasi. Memang pemuda bukan satu-satunya komponen penting dalam menggulirkan reformasi, dan di dalamnya terdapat realitas fragmentasi (pengelompokkan) yang cukup tajam juga. Tetapi, realitas fragmentasi politik pemuda tersebut tidak menghalangi kiprah dan peran pemuda dalam menggulirkan perubahan.

Uraian di atas menggambarkan bagaimana sosok pemuda tercitrakan – atas peran-peran sejarahnya. Patut dicatat bahwa keberhasilan pergerakkan pemuda amat terkait dengan bagaimana mereka mendasarkan pola pergerakkannya pada ideology dan intelektualitas, bukan semata-mata pada mobilisasi. Dengan kata lain, keberhasilan pergerakan pemuda tidak dapat dilepaskan dari bagaimana konteks ideologis dan intelektualitas (kualitas).

Kecenderungan yang kuat pada komitmen ideologis yang antara lain ditunjukkan dengan adanya tingkat partisipasi politik yang tinggi (berkualitas) dan kokohnya kualitas intelektual, membuat pola-pola gerakan pemuda mandiri – lepas dari kungkungan (jebakan) pola patronase (serba tergantung pada kekuatan tertentu diluar dirinya). Kemandirian pergerakkan yang terjadi bagaimanapun demikian mengesankan, namun sayangnya, hal tersebut jarang terjadi di masa kini. KIni kondisi dan kecenderungannya tidak seperti yang digambarkan tersebut. Dengan kata lain, pergerakan pemuda cenderung menonjolkan ciri intektualitas yang bersandarkan pada ideology.

Setelah Orde Baru tumbang, bangsa Indonesia berada pada era reformasi yang boleh dikatakan merupakan sebuah era yang mendesain dirinya menuju system politik yang demokratis sehingga memberi peluang besar kepada rakyat untuk menyatakan pendapat, berserikat dan berkumpul. Semenjak itu pula muncul berbagai ragam organisasi, seperti: munculnya partai-partai politik nasional, yang segera diikuti oleh “sayap-sayap politik” kepemudaan partai politik. Ambil contoh di Partai GOLKAR selain sudah ada “Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia” (AMPI), muncul Angkatan Muda Partai GOLKAR (AMPG), di PDI Perjuangan muncul Banteng Muda Indonesia (BMI), di PKB muncul Garda Bangsa, di PAN muncul Barisan Muda PAN (BM-PAN) dan sebagainya. Munculnya sayap-sayap politik pemuda di partai politik, tentu saja merupakan fenomena yang menarik. Sebab, dari sana terlihat secara nyata bagaimana elemen pemuda dalam partai politik berkiprah dan mengembangkan pengaruhnya secara internal dan eksternal.

Disamping munculnya organisasi kepemudaan yang berpayung pada kekuatan salah satu partai politik tertentu, juga muncul organisasi kepemudaan baru yang bersifat non partisan, seperti: Pemuda Reformasi Indonesia (PRI) yang saat itu diketuai oleh Burzah Zarnubi, SE (Wakil Ketua Komisi IX DPR RI / Ketua Umum PBR -- saat sekarang --) dan berdirinya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), seperti: Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KONTRAS) yang saat itu dikoordinir oleh Munir, SH dan lain sebagainya.

Lantas, bagaimana gerakan pemuda Indonesia pasca era reformasi ? Untuk mengetahuinya, paling tidak kita bisa melihat dan membaca serta mencermati gerakan apa yang dilakukan oleh para mantan aktivis era 1998. Jika kita cermati, mantan aktivis 1998 kini mulai menduduki posisi penting di Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), mereka merupakan merupakan generasi baru atau generasi penerus LSM, seperti koordinator atau kepala divisi. Secara perlahan, mereka mulai mengambil alih peran yang selama ini dipegang oleh generasi LSM sebelumnya, yaitu generasi Munir, SH dan teman-temannya, seperti: Amiruddin Al-Rahab (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat), Teten Masduki (ICW) dan Robertus Robet (Perhimpunan Pendidikan Demokrasi). Mantan aktivis 1998 yang sekarang aktif di LSM antara lain: Usman Hamid (Koordinator Badan Pekerja Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tidak Kekerasan atau KONTRAS), Danang Widoyoko dan Emerson Yuntho (Indonesia Corruption Watch atau ICW), Taufik Basari (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia atau YLBHI), dan Mugiyanto (Ikatan Keluarga Orang Hilang atau IKOH).

Selain di LSM, mantan aktivis 1998 juga ada yang aktif di partai politik (parpol). Mereka, antara lain mantan Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik (PRD) Budiman Soedjatmiko yang sekarang aktif di (Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan); Ketua Umum Himpunan Mahasiswa Islam pada 1997-1999 Anas Urbaningrum (Partai Demokrat); serta mantan Ketua Umum Senat Mahasiswa Universitas Indonesia Rama Pratama (Partai Keadilan Sosial), mantan Ketua Umum Pengurus Besar Pergerakkan Mahasiswa Islam Indonesia (Partai GOLKAR), Mantan Ketua Pemuda Muhammadiyah Imam Daroqutty (Partai Amanat Nasional). Selanjutnya, selain aktif di LSM dan partai politik sebagian dari mantan aktivis juga ada yang bertahan di gerakan rakyat atau menjadi kaum professional, seperti jaksa, hakim, pangacara, dan dokter, atau ada yang merintis karier sebagai pengusaha.

Perbedaan karier para mantan aktivis 1998 ini, menurut Adian Napitupulu (Sekjen Perhimpunan Nasional Aktivis 1998) sebenarnya sudah terlihat sejak aktivitas mereka di kampus. Secara garis besar, setidaknya ada enam sumber kegiatan mahasiswa yang menghasilkan aktivis 1998. Empat diantaranya adalah pers kampus, kelompok studi, LSM dan gerakan yang dulu dianggap illegal, seperti Partai Rakyat Demokratik (PRD). Dua sumber lainnya adalah senat mahasiswa dan organisasi yang akibat kebijakan NKK/BKK yang dibuat oleh Mendikbud Daoed Joesoef pada akhir tahun 1970-an, terpaksa ada diluar kampus. Organisasi itu, antara lain Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), Pergerakkan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI).

Dengan demikian, gerakan dan posisi para mantan aktivis 1998 sangat beragam. Beragamnya posisi mereka sekarang ini tidak menjadi masalah. Yang penting, komitmen untuk membawa perubahan yang lebih baik di masyarakat harus terus dibawa. Ada yang mengatakan bahwa ada sejumlah perubahan, terutama pada mereka yang aktif di parpol yang agresivitas perjuangannya tampak turun. Tetapi pendapat itu dianggap kurang pas karena para mantan aktivis 1998 yang aktif diparpol berpendapat menurunnya agresivitas perjuangannya itu merupakan bagian dari langkah taktis dalam berpolitik dan para mantan aktivis yang tetap diluar parpol juga tidak seluruhnya bersih bahkan ada yang menjadi—katakanlah broker politik --.

Bagaimana sebenarnya komitmen para mantan aktivitas 1998 ini, akhirnya memang akan ditentukan oleh waktu. Yang jelas, aktivitas para aktivis di sekitar Orde Baru itu telah memberikan modal mereka untuk melanjutkan hidup dan ada yang berpendapat bahwa keikutsertaannya dalam gerakan mahasiswa telah memberikan pelajaran tentang bagaimana bekerja keras dan terus berusaha mencari kemungkinan-kemungkinan yang bakal dicapai.

Secara garis besar, uraian di atas mengingatkan kepada kita bahwa pemuda merupakan generasi penerus bangsa yang senantiasa mendapatkan perhatian dari berbagai pihak. Peran dan posisi pemuda dalam perjuangan bangsa tidak bisa dilupakan begitu saja karena dalam setiap zamannya pemuda dalam gerakannya sangat berpengaruh besar terhadap perubahan bangsa menuju arah yang lebih baik. Adanya perbedaan gerak dan langkah pemuda dalam proses gerakan selanjutnya adalah sebuah dinamika kaum muda dan hal itu wajar terjadi di era reformasi seperti saa ini. Yang penting, komitmen untuk melakukan perubahan ke arah yang lebih baik harus selalu terus dibawa dimana pemuda itu berada dan kapan pun waktunya.

Pemuda Indonesia, Tunggu Apalagi, Ayo Lakukan Perubahan, Maju dan Buktikan !