13 November 2008

Jor-joran Pemekaran Daerah

oleh: Eko Prasojo (Guru besar FISIP UI)


Pada 28 Oktober lalu, DPR dan pemerintah menyetujui pembentukan 12 daerah otonom baru (DOB). Persetujuan pembentukan DOB tersebut sebenarnya merupakan sebagian di antara 17 usul inisiatif DPR. Dalam sidang DPOD yang dipimpin menteri dalam negeri yang membahas usul inisiatif DPR itu, muncul wacana yang sangat kuat di antara anggota untuk mengerem pembentukan DOB. Alasannya tentu saja sangat jelas bahwa kemampuan keuangan negara memiliki batas untuk membiayai DOB yang dibentuk.

Pada sisi lain, terhadap daerah-daerah yang dimekarkan tersebut, belum dilakukan evaluasi secara menyeluruh mengenai dampak yang ditimbulkan. Sejak 1999, jumlah DOB yang dibentuk adalah 191 ditambah 12 DOB yang baru disetujui DPR dan pemerintah. Jadi, jumlah keseluruhan DOB sampai akhir Oktober 2008 adalah 203. Jumlah tersebut mungkin bisa bertambah karena masih terdapat inisiatif DPR untuk usul pembentukan DOB. Bagaimana dengan komitmen pemerintah untuk melakukan penghentian sementara (moratorium) pemekaran? Apakah hanya isapan jempol belaka? Sampai kapan tuntutan pemekaran disetujui?

Pemerintah Tersandera

Wacana moratorium pemekaran ternyata bukanlah hal yang mudah diimplementasikan. Meski syarat administratif, teknis, dan fisik kewilayahan sebagai syarat pemekaran telah dibuat semakin ketat berdasar PP No 78/2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah Otonom, hal tersebut tidak mampu membendung tuntutan daerah untuk melakukan pemekaran.

Ada sejumlah hal yang bisa menjelaskan mengapa moratorium pemekaran sulit dilakukan. Pertama, tuntutan terhadap pemekaran adalah cara hukum mendorong pemerintah untuk mengalirkan keuangan negara ke daerah. Selama insentif keuangan berupa dana alokasi umum, dana alokasi, dan dana perimbangan lainnya dari pemerintah pusat terus mengalir ke DOB, selama itu pula tuntutan pemekaran akan terjadi. Dengan kata lain, pemekaran adalah alat bagi daerah untuk menekan pemerintah pusat agar memberikan uang kepada daerah.

Kedua, selain berdimensi keuangan negara, pemekaran memiliki dimensi politik. Pemekaran merupakan cara politik untuk memberikan ruang yang lebih besar kepada kader-kader partai politik di daerah untuk berkiprah di lembaga-lembaga perwakilan serta lembaga-lembaga pemerintahan daerah.

Pembentukan DOB jelas diikuti pembentukan sejumlah struktur dan posisi di daerah seperti kepala daerah, wakil daerah, anggota DPRD, dan posisi-posisi pemerintahan lainnya. Tidak mengherankan jika anggota DPR memiliki interes yang tinggi untuk terus membuat inisiatif RUU pemekaran.

Ketiga, pemekaran juga bisa berdimensi janji politisi kepada masyarakat di daerah pemilihannya (dapil). Apalagi menjelang pemilu, janji pemekaran akan menjadi alat kampanye yang efektif untuk mendongkrak suara dalam pemilu. Kontra opini terhadap pemekaran bisa dipandang tidak prodaerah dan tidak prorakyat.

Keempat, meski masih berupa indikasi dan masih harus dibuktikan, transaksi ekonomi politik sangat berpotensi terjadi dalam pengusulan dan inisiatif RUU pemekaran.

Kelima, tentu saja sangat legitimate untuk menyatakan bahwa dari matra luas wilayah dan jangkauan pelayanan, pemekaran adalah jalan untuk mendekatkan pelayanan sekaligus meningkatkan kemakmuran masyarakat.

Berbagai penjelasan tersebut sebenarnya telah menjadikan DPR dan pemerintah ‘’tersandera’’ dalam tuntutan pemekaran. Kepentingan memperluas struktur dan posisi di daerah, tuntutan mengalirkan dana pusat ke daerah, janji kampanye pemilu, serta indikasi transaksi ekonomi politik memaksa dan menyandera anggota-anggota DPR untuk terus memberikan tempat bagi usul dan inisiatif pemekaran daerah.

Rasanya sulit untuk menghentikan tuntutan pemekaran daerah hanya dengan mengandalkan syarat-syarat teknis-administratif. Penyanderaan bukan hanya dilakukan calon DOB terhadap anggota-anggota DPR, tapi juga dilakukan DPR terhadap pemerintah.

Berbagai kepentingan ekonomi-politik di DPR sering sangat menyulitkan pemerintah (mungkin juga tidak berdaya) untuk menahan RUU pemekaran inisiatif DPR. Pada akhirnya, ukuran-ukuran teknis, administratif, dan fisik kewilayahan sebagaimana tertuang dalam PP No 78/2007 terkalahkan kepentingan dan keputusan politik. Dengan kata lain, tujuan pemekaran untuk memakmurkan dan menyejahterakan rakyat terganti oleh kepentingan elite politik, baik di pusat maupun daerah.

Strategi Penataan Daerah

Tuntutan pemekaran hanya dapat dikurangi dengan strategi yang tepat. Dalam pandangan saya, strategi utama yang harus dibenahi adalah (1) substansi dan (2) proses pengusulan DOB serta (3) perbaikan mentalitas dan orientasi politisi terhadap tujuan pemekaran. Menyangkut perbaikan substansi, sebaiknya perlu dipikirkan nilai dasar dan tujuan akhir dari pemekaran. Jika demokrasi lokal menjadi nilai dasar dan tujuan pemekaran, pemekaran kabupaten/kota akan jadi prioritas. Sebaliknya, jika nilai dasarnya adalah efisiensi-efektivitas pemerintahan, pemekaran kabupaten/kota harus dibatasi dan provinsi harus diperbanyak.

Terkait dengan pengusulan DOB, perlu dipikirkan untuk melakukan penahapan pemekaran. Sebelum DOB dibentuk, perlu diberikan masa persiapan, misalnya, tiga tahun. Masa persiapan tersebut adalah masa pembinaan sekaligus evaluasi terhadap kesiapan daerah untuk dimekarkan. (*)