27 Oktober 2008

Nasionalisme Kaum Muda Masa Kini

Setiap memasuki bulan Oktober, kita akan selalu diingatkan oleh sebuah peristwa bersejarah dalam perjalanan bangsa ini. Peristiwa tersebut kita kenal sebagai Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Sebagai bangsa beradab, tentu kita tidak ingin momentum bersejarah ini terlewatkan begitu saja. Seharusnya ada makna yang bisa diambil dari peristiwa besar ini. Salah satu makna paling menonjol dari peristiwa Sumpah Pemuda ini adalah menguatnya semangat nasionalisme di kalangan pemuda saat itu.

Semangat nasionalisme telah mengilhami pemuda pada masa itu, hingga mereka mampu menjadi pilar penting dan berada pada garda terdepan dalam merintis perjuangan kemerdekan bangsa Indonesia. Menarik untuk mempertanyakan bagaimana pula dengan semangat nasionalisme dan kepeloporan pemuda hari ini? Pertanyaan ini acap kali muncul di tengah keprihatinan berbagai kalangan yang mengkhawatirkan semakin lemahnya eksistensi dan posisi politik pemuda masa kini, terutama dalam mengemban misi kebangsaan.

Nasionalisme pemuda Nasionalisme merupakan suatu kehendak untuk bersatu sebagai bangsa. Kehendak ini tumbuh karena didorong kesadaran akan adanya riwayat atau pengalaman hidup yang sama dan dijalani bersama. Demikian pengertian yang diberikan oleh Ernest Renan yang sering disebut sebagai bapak nasionalisme.

Peristiwa kongres pemuda tanggal 28 Oktober 1928 yang kemudian kita peringati sebagai Sumpah Pemuda adalah manifestasi tumbuhnya kesadaran nasional (nasionalisme) dalam perjuangan menghadapi kolonialisme dan imperialisme Belanda waktu itu. Langkah ini menjadi semacam titik balik dari pola perlawanan sebelumnya yang lebih bersifat lokal. Tidak bisa dipungkiri bahwa tumbuhnya kesadaran tersebut secara nasional tidak bisa dilepaskan dari kontribusi pemuda pada masa tersebut dengan idealisme dan paradigma barunya.

Demikianlah seterusnya, sejarah panjang bangsa ini mencatat konstribusi yang diberikan kaum muda di setiap persimpangan sejarah. Hingga wajar jika banyak pengamat sejarah yang menyatakan bahwa sejarah suatu bangsa sesungguhnya adalah sejarah kaum muda. Pemuda hadir pada titik persimpangan sejarah dan memberi arah bagi perjalanan bangsa ini. Sekadar menjadi catatan, perjuangan kaum muda di panggung sejarah juga terjadi di hampir seluruh belahan dunia.

Sejarah mereka adalah sejarah perlawanan dan pembelaan. Seperti ada benang merah bahwa gerakan pemuda biasanya lahir dari kondisi yang dihadapi masyarakat yang sudah tidak sesuai lagi dengan cita-cita negara dan harapan masyarakatnya. Mereka merespons berbagai situasi dan kondisi tersebut atas dasar kesadaran moral, tanggung jawab intelektual, pengabdian sosial, dan kepedulian politik. Tidak jarang pula ditemukan bahwa situasi global sering menjadi faktor yang memicu dan mematangkan kekuatan aksi mereka.

Semangat zaman Lantas muncul pertanyaan bagaimana dengan pemuda masa kini? Bagaimana kita menakar nasionalisme mereka saat ini? Bagaimana pula kita memaknai peran, posisi dan kontribusi politik generasi yang sekarang ini lebih dikenal sebagai generasi anak nongkrong itu dalam panggung sejarah perubahan?

Louis Gottschalk dalam bukunya yang berjudul Mengerti Sejarah, memperkenalkan istilah zeigest yang biasa diartikan sebagai semangat zaman. Setiap zaman, diidentifikasi memiliki karakteristiknya sendiri. Ada tiga unsur yang mempengaruhi karakteristik semangat zaman. Pertama, ia bisa didesain oleh manusia sebagai pelaku atau tokoh sejarah. Kedua, semangat zamanlah yang membentuk manusia.

Ketiga, semangat zaman lahir dari sturuktur politik dan kebijakan negara. Dalam sejarah perjalanan bangsa yang menempatkan sosok kaum muda sebagai instrumen perubahan, peran politik kaum muda setidaknya dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu: mainstream isu yang berkembang, kepandaian menerjemahkan semangat zaman, dan ketepatan merumuskan strategi perjuangannya.

Pemuda Indonesia dalam sejarahan cukup memainkan perannya dalam 'mendesain' setiap peristiwa besar perubahan bangsa ini, bahkan sekaligus menjadi aktor utama dalam peristiwa perubahan tersebut. Dalam hal ini bisa katakan bahwa pemuda telah memiliki daya responsivitas yang tinggi dalam menerjemahkan semangat zamannya masing-masing. Namun di sisi lain, kenyataan memilukan yang juga sering mengemuka di setiap panggung sejarah perubahan adalah bahwa kaum muda seperti kurang memiliki energi untuk mengarahkan perubahan serta kurang memiliki kesiapan kompetensi untuk mengisi perubahan tersebut.

Di situlah letak tantangan yang harus dihadapi oleh kaum muda saat ini dihadapkan pada berbagai persoalan, baik di tingkat lokal seperti korupsi, kemiskinan, pengangguran, kemandirian dan lain-lain maupun di tingkat global seperti isu-isu lingkungan hidup, pemanasan global, terorisme, dan sebagainya. Itu semua tentu saja tidak bisa diselesaikan oleh para pemuda yang hanya bisa bernostalgia dan beromantisme mengenang masa yang telah berlalu.

Setiap perubahan perlu energi besar yang lahir dari jiwa yang senantiasa menggelora khas anak muda, cerminan dari hati yang bersih serta nurani yang senantiasa berkobar. Jadi bukan munculnya generasi anak nongkrong yang jadi persoalan. Namun, intinya adalah ketika sensitivitas krisis dari generasi muda terus melemah serta kepeduliannya terhadap persoalan-persoalan besar telah terkikis, maka tunggulah saat di mana pemuda akan semakin menepi dan terpinggirkan dari panggung sejarah peradaban.

Zaman mungkin boleh berubah, semangat zaman yang menyertainya pun mungkin saja berbeda. Tetapi sekali lagi, akan selalu ada cahaya di ujung lorong yang gelap jika tetap ada sekelompok pemuda di setiap zaman yang tidak kehilangan sensitivitas dan kepeduliannya. Dua hal ini merupakan substansi dari nasionalisme yang dapat dipakai sebagai syarat minimal guna menakar nasionalisme kaum muda di setiap zaman.

oleh: Rama Pratama, Anggota DPR RI.


Sekelumit Mengenai Pemuda dan Politik di Indonesia


Oleh: Andi Achdian



Dunia Yang Terbelah

"Rural youth, that is, the teen-age boys and young men, handle themselves toward their society with a great deal of independence … In a real way, at this age, they are beyond social law—bright, curious, forever under foot, but never seriously rebuked or disciplined… Congruent with this high degree of independence and solidarity is the unique social role assigned to youth by the villager and indeed by Javanese society in general. The djaka, or, as they are more often called, the pemuda (a term expressive of their ‘dynamic’ character and the prefered term among modernist), are given powerfull social license by their society to take on the more vigorous, emotionally arousing social tasks requiring brusque, aggressive, even socially violent action … In the eyes of the Javenese the “youth” were the guerrilla fighters par-excellence in the postwar struggle against the Dutch. They have also been consistently the vanguard for political struggle in rural Modjokuto."

(Robert R. Jay. Religion and Politics in Rural Java, 1963: 90-93)

Jay menulis komentar ini ketika ia melakukan penelitian lapangan di wilayah Kediri, Jawa Timur, pada dekade awal tahun 1950an. Dan tidak disangkal, banyak peneliti asing tentang Indonesia telah terkesan dan menulis mengenai sifat ’dinamis’ pemuda yang dalam istilah Jay disebut sebagai ’guerrilla fighters par-excellence’ atau ‘vanguard for political struggle’ di wilayah kajiannya. Salah satunya adalah ilmuwan politik terkenal di Indonesia, Benedict Anderson yang mengabadikan sifat dinamis itu sebagai motor penggerak dari revolusi Indonesia [Benedict Anderson: 1972]. Dari fakta sosial dan kultural semacam ini, idealisasi konsepsi pemuda dalam kehidupan politik Indonesia kontemporer terus terabadikan seperti tertuang dalam ritual tahunan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober yang dikenang sebagai tonggak ketika kaum muda Indonesia menjadi motor penggerak lahirnya sebuah bangsa bernama Indonesia.

Meskipun demikian, dalam sebuah real-politics atau kenyataan rutin kehidupan sehari-hari, pemuda tidak mengalami hidup seindah citra yang dibentuk dalam konsepsi budaya dan ritual politik Indonesia. Siapapun harus siap kecewa—terutama kaum muda itu sendiri—ketika mereka harus hidup dalam dunia nyata dan mempertanyakan peran apa yang harus diambil dalam masyarakat mereka. Sifat paradoksikal dari dunia pemuda dan kehidupan nyata yang mereka alam—terlepas dari bagaimana idealisasi terhadap konsepsi pemuda dalam masyarakat Indonesia—dinyatakan dengan baik oleh Clifford Geertz yang dalam dekade sama dengan Jay mengamati kehidupan masyarakat Indonesia, tepatnya di bagian timur pulau Jawa ketika ia mengamati hasil sistem pendidikan barat yang menghasilkan sebuah kelompok sosial yang lepas dari dunia sosial mereka, tetapi tidak jelas betul bagaimana posisinya. Seperti Geertz katakan ‘this emergent Indonesian “youth-culture”, made up of an intense, idealistic, and perpelexed group of young men and women who have suddenly been projected into a world thay never made ...’[Clifford Geertz. 1976: 378].

Dalam kehidupan sehari-hari politik Indonesia sekarang ini, sifat paradoksikal tersebut tidak dapat disangkal timbul tenggelam dalam setiap moment ketika keresahan dan situasi sosial menuntut idealisme pemuda tampil ke permukaan. Dalam kaitan ini, seperti belum lama ini kita bisa amati dalam media massa Indonesia, sekelompok pemuda di Jakarta telah mendeklarasikan sebuah tuntutan tentang pentingnya pemuda mengambil peran kepemimpinan dalam masyarakatnya. Agak mengherankan memang, cetusan yang ditampilkan bukanlah sebuah dunia baru dari ‘masyarakat lama’ Indonesia yang membutuhkan dinamika baru, tetapi lebih pada cetusan ‘perang generasi’ yang mana kelompok pemuda ini menyalahkan kerusakan sosial, politik dan ekonomi Indonesia sekarang ini pada senior-senior mereka yang menduduki kursi kekuasaan. Bukan sebuah ‘revolusi’ atau agenda politik yang menawarkan dinamisme pemuda yang tampil dalam cetusan tersebut, tetapi lebih pada sebuah posisi dalam masyarakat yang memang jauh dari gapaian kelompok tersebut. Tidak mengherankan bila kemudian muncul tantangan dan kritik bahwa soal kepemimpinan bukanlah soal perbedaan generasional, tetapi lebih pada kapasitas, pengalaman dan visi seseorang. Selain itu, kepemimpinan bukan sesuatu yang dapat diminta, melainkan direbut untuk kemudian dijalankan.

Apa Kata Sejarah?

Pemuda dan karakter dinamisnya pada dasarnya bukan cuma pengalaman unik Indonesia. Sejarah dunia telah menunjukkan bagaimana kaum muda menempatkan diri sebagai sebuah kekuatan kolektif menjebol tatanan mapan dan memimpikan dunia baru. Revolusi Kebudayaan di Tiongkok menunjukkan bagaimana anak-anak muda keluar dari kehidupan keluarga mereka, membentuk brigade-brigade kampung dan desa dengan membawa buku kecil merah berisi ajaran Mao Tse Tung tentang revolusi di Tiongkok yang belum selesai. Dalam tataran politik formal, tidak dapat disangkal bahwa revolusi kebudayaan adalah bagian dari sebuah pertarungan politik antara elit kekuasaan di Tiongkok saat itu. Tetapi dinamikanya ada di tangan kaum muda. Bisa dibayangkan, tokoh terhormat revolusi sosialis Tiongkok, Deng Xiao Ping, misalnya, telah dicaci maki oleh orang-orang muda belia yang sebelumnya tidak lebih bayi merah ketika Deng membangun tentara petani menggulingkan kekuasaan Chiang Kai sek.

Di benua Eropa, mungkin kita dapat mengingat bagaimana mahasiswa Prancis memulai revolusi melawan pemerintahan De Gaule pada bulan Mei 1968. Kalau awalnya tuntutan mahasiswa bergerak memprotes seputar kejumudan sistem pengajaran di perguruan tinggi Prancis saat itu, namun kemudian pergerakan itu tumpah-ruah kejalanan, membangun barikade-barikade menuntut transformasi radikal dalam dunia sosial Prancis yang telah mapan pada saat itu. Filsuf ternama Prancis, Jean Paul Sartre, yang terkenal dengan aliran existensialismenya turut menjadi bagian gelombang ini. Dinamika pemuda dalam revolusi Mei 1968—meskipun kemudian dikalahkan—menjadi lambang bagi filsuf itu untuk melihat dimensi subyektif manusia menjebol sebuah struktur sosial, politik, budaya yang menjadi kerangkeng manusia.

Dan terakhir mungkin bisa dilihat pula apa yang disebut sebagai ‘generasi bunga’ pada yang berpengaruh besar terhadap kehidupan sosial politik Amerika Serikat pada dekade 1960an dan 1970an. Semangat jaman dekade tersebut sampai saat ini masih dapat kita rasakan melalui ikon-ikon pop dunia seperti The Beatles dengan lagu berjudul Revolution dalam raungan suara gitar elektrik bernada Rock N Roll yang mencerminkan semangat jaman penuh pemberontakan saat itu, atau lengkingan gitar Jimi Hendrix serta lirik-lirik anti perang yang dibawakan oleh Joan Baez, Bob Dylan dan sebagainya. Tak urung, rejim militer Orde Baru pada saat mulai berkuasa telah mengkhawatirkan pengaruh dari tingkah polah generasi bunga itu seperti tercermin dalam tanggapan mereka menghadapi aksi-aksi pemuda yang memprotes rejim tersebut yang kemudian dikenal sebagai Malari pada tahun 1974.

Dalam pengalaman Indonesia, barangkali gambaran yang paling menonjol tercetus melalui pengalaman revolusi pada tahun 1945 ketika kaum muda menyerukan pada Sukarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Memperhatikan dinamika ini, Benedict Anderson telah mengukir dalam karya klasiknya mengenai revolusi Indonesia dengan mengatakan ‘bahwa peranan inti pada awal pecahnya revolusi [Indonesia] itu diambil, bukan oleh para cendikiawan yang terasingkan, bukan juga kelas-kelas utama yang tertindas, melainkan oleh kaum muda, atau sebagaimana orang-orang Indonesia menyebutnya sebagai pemuda...” [Anderson: 1972]. Rekaman yang sangat hidup mengenai pemuda dalam revolusi Indonesia bisa kita lihat dari tesis sejarah seorang pemuda brilyan, Soe Hok Gie, yang dalam bagian ini akan banyak dikutip [Soe Hok Gie, 1997:128-137].

Ketika menceritakan revolusi Indonesia dan kaitannya dengan peran pemuda, Gie mengatakan bahwa ‘bagi pemuda-pemuda Indonesia umumnya revolusi mempunyai arti yang lebih luas dari sekedar daripada kemerdekaan bangsa, kedaulatan negara dan kemerdekaan ekonomi.’ Semangat jaman pemuda, seperti dikatakan Gie, ‘adalah pembaharuan atas segala nilai-nilai hidup.’ Revolusi, sebuah periode ketika tatanan lama goyah dan tatanan baru belum jelas terbentuk, dan dorongan terpenting bagi kaum pemuda saat itu adalah kesadaran mereka untuk menempatkan diri sebagai ‘pembebas penderitaan rakyat.’ Mereka [pemuda-pemuda revolusi], ‘seolah-olah bersumpah pada rakyat bahwa mereka akan menghilangkan kemiskinan dengan kemerdekaan. Dan secara tidak sadar mereka dikejar-kejar oleh ‘sumpahnya’ tadi.’

Dalam tingkat ekstrem, ekspresi pembaharuan ini menjalar pada tingkat kehidupan sosial lama yang menyinggung ‘ikatan keluarga dan perkawinan’. Revolusi telah membawa penempatan baru bagi para pemuda untuk berjarak pada hubungan ‘ayah dan anak’ sejauh terjadi pertentangan ideologi di antara mereka. Contoh kasus adalah kemarahan Mayor Wiranatakusumah ketika mengetahui ayahnya, R.A. Wiranatakusumah memproklamasikan diri sebagai kepala negara Republik Pasundan. Bahkan dalam suasana revolusioner seperti itu, Bung Tomo, yang sengaja memelihara rambut gondrongnya, pernah bersumpah bahwa ia ‘tidak menjalankan kewajiban dan hak sebagai suami-istri sebelum ancaman terhadap kedaulatan negara dan Rakyat dapat dihalaukan. Tetapi yang terpenting dari segala ekspresi pemuda dalam revolusi, seperti dikatakan Gie, adalah:

Jika pada nilai-nilai dasar yang essensial perkawinan, hubungan ayah dan keluarga telah ‘dilanggar’ oleh revolusi, maka nilai-nilai lain yang lebih formal dengan mudah dilepaskan pula. Sikap terhadap pamong praja, terhadap bangsawan-bangsawan feodal ataupun terhadap hubungan lainnya lebih mudah dilanggar. Dalam suasana psikologis dan demam revolusi terjadi Peristiwa Tiga Daerah, revolusi sosial di Sumatra Timur, revolusi sosial di Solo, pembunuhan orang-orang Cina di Tangerang, Bumiayu dan lainnya. Semuanya bersumber pada pemberontakan dari nilai-nilai baru (yang sangat diak jelas untuk kebanyakan pemuda sendiri) terhadap nilai-nilai lama. Bagi pemuda umumnya revolusi berarti tantangan untuk mencari nilai-nilai baru dan pencarian inlah kita akan mengerti frustasi-frustasi yang timbul kemudian.

Analisis cerdas Gie dalam uraiannya mengenai revolusi Indonesia mengantarkan kita pada aspek essensial peran pemuda dalam proses sejarah di negeri ini. Segala unsur remeh yang banyak dilecehkan dan dicela oleh mereka yang berada dalam dunia mapan—seperit hubungan seksual yang longgar, anti-lembaga perkawinan dan kegarangan pemuda—bagi Gie adalah riak saja yang menunjukkan potensi bagi mudahnya mereka ‘melanggar nilai-nilai lain yang lebih formal’ dalam dimensi sosial, ekonomi dan politik masyarakat.

Dapat disimpulkan bahwa apa yang dikatakan sejarah terhadap sosok pemuda—baik di Indonesia maupun di luar—adalah fakta bahwa mereka adalah kekuatan utama yang membawa dengan gigih sebuah ‘semangat jaman’ baru bagi masyarakatnya. Pengalaman ketika reformasi politik di Indonesia bergulir pada bulan Mei 1998 sedikit banyak memberikan betapa gambaran yang ditunjukan Gie lima dekade berikutnya muncul dalam kehidupan kontemporer kita. Dengan demikian, apabila ada tuntutan pada periode baru-baru ini mengenai peran pemuda dan kepemimpinan, sesungguhnya itu baru satu aspek yang kecil dalam peran sejarah pemuda. Pokok terpenting adalah semangat jaman seperti apa yang akan diwakili para pemuda Indonesia saat ini, bukan pada posisi kepimpinan yang lebih merupakan milestone kecil hasil sebuah pertarungan politik (dan sudah barang tentu bukan sesuatu yang diberikan).

Dari Ujung Barat Indonesia

Untuk berkaca tentang bagaimana kaum muda menjalankan peran dan fungsi dalam dunia politik saat ini, tidak ada tempat paling menarik sebagai pembelajaran selain apa yang terjadi di wilayah paling barat Indonesia saat ini: Nangroe Aceh Darussalam. Mengapa Aceh menjadi rujukan dan apa yang dilakukan kaum muda Aceh sehingga patut menjadi pembelajaran? Pertama-tama mungkin sifatnya romantis. Tidak ada satu wilayah yang mana para pahlawannya telah begitu banyak memberikan kebanggaan terhadap Indonesia. Di hampir setiap kota besar, nama-nama seperti Cut Nyak Din, Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro begitu banyak menjadi simbol dari perjuangan Indonesia. Untuk membangun harga diri dan kebanggaan sejarah perjuangan Indonesia, kita banyak berhutang pada orang-orang yang berasal dari wilayah ujung barat Indonesia tersebut. Bahkan, di era yang mana banyak orang Indonesia tidak sadar sejarah, masih dengan mudah penduduk negeri ini sampai mereka yang duduk di sekolah dasar untuk mengenal siapa itu Cut Nyak Din atau Teuku Umar misalnya.

Kedua adalah karena situasi sosial dan politik yang ada di wilayah itu saat ini. Perjanjian Damai di Helsinki antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah menciptakan sebuah situasi yang disebut seorang ilmuwan politik sebagai political opportunity structure [Sidney Tarrow, 1982] bagi aktor-aktor politik di Aceh, termasuk kaum muda mereka. Berada di wilayah NAD saat ini, kita dengan cepat dapat menangkap sebuah situasi jaman di kalangan kaum muda untuk merumuskan dan membawa Aceh Baru dalam kehidupan sosial politik masyarakat yang telah hancur lebur oleh perang selama beberapa dekade dan juga bencana Tsunami.

Karakter ini dapat dilihat dari salah satu sosok yang muncul di Aceh, yaitu Aguswandi, yang merupakan tokoh intelektual muda Aceh sekaligus sekarang menjadi ketua umum Partai Rakyat Aceh. Perjalanan hidupnya cukup menarik dan dapat kita bandingkan dengan tokoh-tokoh pendiri bangsa ini. Dia lahir dari keluarga petani biasa di Aceh, dan masuk sekolah menengah umum (SMU) di Banda Aceh dan menjadi mahasiswa Syiah Kuala. Aguswandi tumbuh besar ketika ‘perang dalam negeri’ menjadi bagian dalam sejarah Aceh, dan ia dapat dikatakan sebagai ‘generasi perang’ seperti juga rekan-rekan sebayanya.

Ketika kuliah, ia membentuk apa yang disebut sebagai Solidaritas Mahasiswa untuk Referendum (SMUR) yang sekaligus menjadi dasar baginya menempati posisi nomor satu orang populer di Aceh dalam sebuah polling pada tahun 1999. Tuntutannya atas referendum di Aceh, dan popularitasnya, menyebabkan ia kemudian menjadi buronan politik rejim Orde Baru yang memaksanya secara sembunyi-sembunyi meninggalkan Aceh dan Indonesia (dan sudah barang tentu keluarga dan sahabat) untuk hidup sebagai pelarian politik di negara orang (Inggris). Hanya perjanjian damai Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 yang memungkinkannya kembali ke tempat ia dilahirkan di Banda Aceh, bersama-sama pelarian politik Aceh yang tinggal di berbagai negara.

Fakta paling menarik adalah ketika ia menulis dan menerbitkan buku berjudul “9 Langkah Memajukan Diri Membangun Aceh Baru” pada awal tahun 2007. Di dalam buku ini, Aguswandi menulis 9 hal yang menurutnya penting sebagai modal dasar membangun Aceh Baru, seperti belajar bahasa Inggris, membangun etika kerja keras yang modern, merangkul proses globalisasi dan lain sebagainya. Pokok inti dari apa yang dapat kita lihat dalam karya tersebut adalah sebuah gambaran tentang sosok pemuda—yang termasuk juga dapat dilihat dalam gambaran rekan-rekan segenerasinya di Aceh saat ini—yang sibuk memikirkan kondisi masyarakatnya dan menawarkan sebuah formula yang diyakini dapat membawa kebaikan bagi masyarakat. Eksperimen-eksperimen semacam ini terus berjalan, dan dinamika pemuda yang menjadi denyut nadi perubahan dalam sejarah Indonesia dapat kita temukan di Aceh saat ini. Dalam kondisi ini, banyak karakter dan sosok pemuda seperti Aguswandi yang dalam enerji muda mereka sibuk memikirkan apa yang baik buat masyarakatnya. Mereka membangun partai politik (seperti Partai Rakyat Aceh) atau organisasi massa (seperti Sentral Informasi Referendum Aceh, SIRA) dan kebanyakan mereka memiliki hasrat politik luar biasa membangun masyarakat dan menyusun kekuatan untuk menguasai institusi-institusi politik formal (dan tidak meminta untuk menjadi pemimpin seperti dalam pengalaman kita baru-baru ini).

Dalam kaitan ini, dinamika kaum muda Aceh dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua di Indonesia. Mereka tengah mewakili sebuah semangat jaman yang mana perubahan-perubahan yang mereka inginkan—meskipun belum jelas benar bagaimana akibat perubahan itu nantinya—dijalankan dengan serangkaian eksperimen dan dinamisme pemuda. Aceh Baru adalah sebuah cita-cita besar—lebih dari sekedar tuntutan ingin menjadi pemimpin—yang memang tumbuh dalam sebuah masyarakat yang tengah berubah dengan cepat. Mampukah kita?

Indonesia Baru

Sebagai penutup, setidaknya ada sebuah tantangan yang perlu dilontarkan dan perlu kita jawab bersama: dengan alasan apa kita bergerak? Masalah besar apa yang dihadapi masyarakat Indonesia sehingga para pemudanya perlu bergerak? Cita-cita yang bagaimana yang dapat menggerakan semangat psikologis dan karakter dinamis pemuda di Indonesia saat ini? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan dasar bagi kita semua ketika kita mencoba menempatkan posisi pemuda dalam sebuah arena politik.

Barangkali kita bisa meniru rekan-rekan kita para pemuda di Aceh yang bermimpi untuk membangun Aceh Baru. Kita bisa menamakannya sebagai Indonesia Baru dan kita harus memiliki sebuah cita-cita tentang bagaimanakah karakter Indonesia Baru? Apakah kita sekarang masih memiliki sebuah rasa bangga ketika menyatakan diri sebagai orang Indonesia? Dan apabila tidak, lalu bagaimana caranya kita bisa menjadi bangga? Ringkas kata: Ayo bergerak untuk Indonesia Baru.

Anderson, Benedict R.O.G . Java in a Time of RevoluHon; Occupation and Resistance 1944-1946, Ithaca: Cornell University Press. 1972.

Jay, Robert R. Religion and Politics in Rural Central Java. Cultural Report Series No. 12. Yale University, New Haven. 1963.

Soe Hok Gie. Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan. Bentang Budaya, Yogyakarta. 1997.

Saatnya Pemuda memimpin



Belenggu politik kaum muda selama orde baru bukan hanya menjadi penjara politik yang menyengsarakan, tetapi telah mengerdilkan peran pemuda. Eksistensi pemuda hanya sebagai pelengkap penderita bagi “demokrasi palsu” yang menjadi icon orde baru. Tumbangnya orde baru menjadi angin segar bagi gerakan demokrasi sesungguhnya, di mana politik telah menjadi pasar bebas bagi pencari kekuasaan politik. Meski belum sepenuhnya bebas dari intervensi khususnya dari pemimpin partai politik.Tidak heran jika geliat politik pemuda semakin ramai mewarnai wilayah politik saat arus gerakan demokrasi di era reformasi ini. Sebagian sudah terlibat penuh dalam “pertarungan politik”, baik legislatif maupun eksekutif. Pemuda tidak lagi menjadi penonton, tetapi telah menjadi aktor berpengaruh, bahkan sebagian sudah terlibat menjadi tim sukses, konsultan politik, bahkan sebagian sudah berani tampil sebagai kandidat bupati maupun gubernur meski hanya sedikit yang berhasil.

Sudah saatnya pemuda harus tampil di berbagai tempat, mengisisi peluang-peluang strategis yang masih tersedia, selama kompetisi itu terbuka secara adil. Pemuda tentu sudah terbiasa dengan peran-operan strategisnya, sebagaimana yang ditampilkan saat ini dan di masa lalu, pemuda tidak henti-hentinya mengusung agenda perubahan yang lebih baik untuk masyarakat. Hanya saja ikhtiar pemuda belum begitu optimal, karena pemuda hanya diposisikan di luar arena kekuasaan, belum menjadi pemegang kekuasaan yang tentu lebih muda mengarahka kekuasaan itu dalam konsep ideal pemuda untuk egenda perubahan bangsa.

Pemuda selalu dinomorduakan dalam posisi kepemimpinan nasional maupun lokal. Padahal mereka (kalangan tua) mengakui betul kemampuan pemuda dalam agenda perubahan. Tetapi, dalam kekuasaan politik ada keengganan untuk menyerahkannya kepada pemuda. Kekuasaan dianggapnya sebagai implementasi budaya politik keluarga, di mana orang tua yang selalu berkuasa. Kalangan tua lebih yakin dengan berbagai pengalamannya dianggap lebih matang menjadi seorang pemimpin.

Statemeant “pemuda adalah pemimpin bangsa masa depan”, adalah upaya sakralisasi posisi pemuda itu sendiri dengan berbagai keistimewaannya. Padahal, kalimat itu bisa menjadi belenggu kultural yang bisa menghalangi langkah pemuda untuk tampil bersaing dengan kalangan tua. Pemuda dilegitimasi untuk menjadi pemimpim berikutnya saat usianya sudah tidak lagi menjadi pemuda. Belum lagi tantangan dan keraguan pada kepemimpinan datang dari kalangan pemuda itu sendiri.

Di lain pihak, memang sangat tidak bijaksana kalau kita melakukan dikotomi antara kalangan tua dan muda dalam perebutan kepemimpinan nasional maupun lokal oleh karena berbagai sebab: (1) setiap warga Negara punya hak yang sama tampil menjadi pemimpin, tua dan muda tidak menjadi persoalan; (2) tidak yang bisa memastikan kalangan muda lebih baik, lebih berkualitas dan lebih mampu melakukan perubahan ketimbang dengan kalangan tua; (3) problem bangsa saat ini, Bukan semata-mata problem kepemimpinan tua dan muda, apalagi soal moralitas pemuda atau tua karena susah untuk menyimpulkannya. Selain karena implementasi pembangunan politik, ekonomi dan berbagai aspek kehidupan belum sepenuhnya berihak kepada kepentingan rakyat dan bangsa, juga karena masih terjadi keselahan dalam mengelola Negara.

Tetu tidak ada yang bisa memastikan bahwa kepemimpinan pemuda bisa menjadi solusi yang terbaik untuk keluar dari berbagai masalah yang kompleks. Karena perbedaan umur tidak akan bisa menjadi jaminan kualitas dan kemampuan seseorang dalam memimpin, belum bisa dijadikan indikator inovatifnya seorang pemimpin.

Namun demikian, ada keharusan agar kita bisa lebih “legowo” melihat geliat pemuda dalam wilayah politik, dengan berbagai warna-warninya. Idealisme pemuda dengan segenap harapan-harapan idealnya, tidak sabar melihat kondisi kebangsaan kita yang belum bisa bangkit dari krisis. Posisi tawar pemerintah dalam menghadapi Negara maju semakin lemah, begitu lemahnya sehingga tidak kuasa menolak apalagi melawan intervensi-nya. Pemerintah seperti terhipnotis atas berbagai tawaran Negara-negara maju, jadilah kita seperti Negara boneka, dengan sedkit otoritas. Kita punya sumber daya alam yang begitu besar tetapi sangat sedikit jumlahnya yang bisa kita nikmati.

Korupsi masih terus meraja lela di berbagai tempat, menyebabkan kita belum bisa keluar dari predikat Negara korupsi. Tingkat kepercayan pemuda termasuk masyarakat pada umumnya mulai menurun pada pemimpin sekarang ini. Meski bukan krisis kepemimpinan, tetapi jika dibiarkan bisa menjadi “penyakit kronis” yang akan menurunkan partisipasi publik. Kemiskinan dan kebodohan semakin mengakar di tengah masyarakat, diperkuat dengan kondisi pengangguran yang menambah kompleks problem kebangsaan.

Kondisi itulah yang menyebabkan lahirnya kegelisan pemuda dalam bentuk geliat politik dalam berbagai ranah kehidupan khususnya pada basis kekuasaan. Pemuda melihat adanya kegagalan yang nyata oleh kepemimpinan kaum tua yang mendominasi kekuasaan politik (presiden, gubernur dan bupati) dari era orde baru sampai reformasi sekarang ini. Pemuda ingin membuktikan diri, bahwa lebih mampu melakukan perubahan. Meskipun masih sebatas semangat dan mimpi indah, karena kenyataannya belum ada bukti kongkrit untuk itu.

Agar pemuda tidak hanya dikatakan bermodalkan semangat dan menawarkan mimpi indah, perlu ada konsep yang lebih matang dan strategi yang lebih jitu dalam mengelola rumah besar Indonesia. Karena memimpin negeri ini bukan tanpa hambatan, problem yang begitu kompleks, diperkuat dengan manuver sebagian pemuda yang jauh dari idealisme pemuda pada umumnya. Sebagian pemuda tidak lagi takut kehilangan idealismenya untuk kepentingan sesaat, di mana ruang politik menawarkan “surga” yang selama ini dicarinya. Termasuk pemuda yang selama ini dalam posisi dilematis, karena masih dihadapkan pada jeratan kemiskinan dan kebodohan yang jumlahnya tidak sedikit.

Pemuda harus membuktikan kemampuannya, menampilkan semaksimal mungkin daya tawar yang boleh jadi tidak dimiliki oleh pemimpin kalangan tua. Salin itu, tawaran konsep untuk bangkit dari krisis menjadi fundamental. Selanjutnya, manuver pemuda masa kini sudah mulai menata jalan yang lebih baik, jalan baru yang bisa dilalui bersama. Menjalin hubungan baik dan networking yang lebih kuat, saling memberdayakan satu sama sama lain tanpa memandang profesi, etnis dan golongannya.

Kalau bukan sekarang kapan lagi, nasehat yang sangat baik bagi kaum muda. Sosialisasi dan konsolidasii kepemimpinan kaum muda sudah harus digelorakan di tengah masyarakat. Sebagai alternatif atas lambannya agenda perubahan. Sambil membangun komunikasi sefektif mungkin di kalangan muda. Rasa solidaritas dan persatuan terbangun tentu tidak hanya lahir karena beban dan penderitaan yang sama dalam menghadapi kolonialisme, tetapi juga bisa lahir oleh karena cita-cita dan harapan yang sama akan negeri yang betul-betul bebas merdeka dari segala bentuk penindasan dan belenggu penderitaan.

Elit pemuda sekarang baik legislatif, yudikatif maupun dalam eksekutif harus memperlihatkan contoh yang terbaik. Memaksimalkan posisinya untuk kepentingan publik. Manuver politik yang dimainkan betul-betul diarahkan untuk kepentingan bangsa, bukan untuk kepentingan diri dan kelompoknya masing-masing. Karena sedikit saja kesalahan elit pemuda, bukan hanya merusak perjuangan pemuda tetapi merusak citra pemuda. Apalagi manuver politiknya terlihat dengan jelas hanya untuk meraih kekuasaan semata, jangan harap bisa meraih simpatik dan dukungan dari kaum muda.

sumber: gp-ansor.org

Quo Vadis Pendidikan Bangsa?



Kebangkitan nasional memang tidak dapat dilepaskan dari aspek pendidikan. Pendidikan merupakan tonggak perjuangan bangsa menuju kemajuan peradaban. Tanpa pendidikan yang baik, tata aturan dan etika kehidupan akan kacau, krisis moral akan merebak, hingga menimbulkan gangguan sistem ekonomi yang mengarah pada kelumpuhan stabilitas negara.

Indonesia, sebagai negara berkembang sangatlah urgen untuk memberi perhatian lebih pada bidang pendidikan yang sekarang jauh tertinggal dari negara-negara lain. Dengan meningkatkan bidang pendidikanlah, perkembangan pada bidang kehidupan yang lainnya akan tecapai hingga akselerasi kebangkitan nasional berjalan lebih cepat.

Sejarah Kebangkitan Nasional

Seratus tahun yang lampau, tepatnya pada tanggal 20 Mei 1908, berdirilah sebuah organisasi penggerak kebangkitan bangsa, Boedi Oetomo. Hari tersebut kemudian dikenang sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Kala itu bangkitlah suatu kesadaran tentang kesatuan kebangsaan untuk menentang kekuasaan penjajahan Belanda yang telah berabad-abad lamanya berlangsung di tanah air. Boedi Oetomo saat itu, merupakan perkumpulan kaum muda yang berpendidikan dan peduli terhadap nasib bangsa, yang antara lain diprakarsai oleh Dr.Soetomo, Dr.Wahidin Soedirohoesodo, Dr.Goenawan dan Suryadi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara).

Pahit getirnya perjuangan bangsa Indonesia jauh sebelum 1908 mencatat begitu banyak kenangan berharga dan begitu banyak kenangan yang mengharukan. Awal kebangkitan Nasional bukanlah terjadi dengan sendirinya tetapi berawal dari rasa keprihatinan terhadap kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan. Saat itu Belanda menelantarkan pendidikan Bangsa Indonesia, rakyat dibiarkan bodoh, melarat dan menderita.

Kondisi tersebut ternyata tidaklah lama. Orang-orang berpendidikan mulai unjuk karya. Mereka mulai bergerak menyuarakan hak-hak bangsa. Jumlah mereka pun semakin bertambah. Banyaknya orang pintar dan terpelajar di Indonesia kala itu merupakan salah satu factor munculnya kebangkitan nasional. Orang-orang terpelajarlah yang berperan sebagai pionir bagi masyarakat lainnya untuk sadar dan bersatu menuju kesatuan bangsa demi menghapuskan penjajahan Belanda.

Saat itu orang-orang terpelajar mendirikan organisasi di setiap daerah. Jong Ambon (1909), Jong Java dan Jong Celebes (1917), Jong Sumatera dan Jong Minahasa (1918). Pada tahun 1911 juga berdiri organisasi Sarikat Islam, 1912 Muhammadiyah, 1926 Nahdlatul Ulama, dan kemudian pada tahun 1927 berdiri Partai Nasional Indonesia. Perjuangan yang panjang itu, akhirnya mencapai puncaknya pada kemerdekaan bangsa, yang diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Gerakan Reformasi 1998 yang menumbangkan kekuasaan yang sentralistik, merupakan gerakan moral sebagai lanjutan kebangkitan bangsa. Kebangkitan dari kebobrokan mental yang ada dalam pemerintahan RI. Kebangkitan dari kepincangan hukum yang tidak adil menuju tuntutan rakyat demi menciptakan pemerintahan yang bersih dari korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).

Memang zaman telah berubah, dulu , kini dan esok sangat berbeda, tetapi semangat dan perjuangan kemanusiaan dan kebangsaan yang terkandung dalam Hari Kebangkitan Nasional tidak terikat oleh ruang dan waktu. Indonesia sekarang ini sesungguhnya merupakan hasil dari suatu perjuangan bangsa yang amat panjang dan meminta korban yang amat besar, baik ketika berjuang untuk mewujudkannya, maupun untuk mempertahankannya. Oleh karena itu, kualitas pendidikan yang merupakan inti dari kebangkitan nasional perlu kita tingkatkan saat ini demi tercapainya kebangkitan nasional kedua menuju kemajuan global.

Wajah Pendidikan Indonesia Terkini

Saat ini, Indonesia sedang dilanda krisis multidimensi. Beberapa di antaranya adalah krisis ekonomi yang membuat kemiskinan meraja lela dan krisis akhlak yang menimbulkan kriminalitas. Permasalahan ini diakibatkan oleh lemahnya sistem pendidikan baik dari segi dana, fasilitas, maupun materi. Bila masalah ini tidak dikaji dan dibenahi secara serius, kemajuan negara yang didambakan akan semakin lambat tercapai.

Pendidikan di negara ini perlu dibenahi lagi secara terprogram. Banyak permasalahan yang melanda aspek pendidikan di tanah air ini. Permasalahan itu diantaranya menyangkut aspek ekonomi (anggaran), kurrikulum (materi dan system), dan atensi pada guru.

Anggaran dana pendidikan kita masih kurang. Pendidikan yang layak hanya mampu membina generasi-generasi tunas bangsa yang berasal dari golongan menengah ke atas. Sementara mereka yang berasal dari strata bawah kurang mendapat perhatian pendidikan yang layak dan terprogram secara terstruktur. Dalam UU Nomor 18 tahun 2006 tentang APBN tahun anggaran 2007 pemerintah hanya mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 90,10 triliun. Jumlah itu hanya 11,8 persen dari total APBN 2007 yang besarnya mencapai Rp 763,6 triliun. Hal ini bertentangan dengan Pasal 31 ayat 4 UUD RI 1945 yang menyatakan negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN dan APBD. (data 18 Januari 2007). Jika anggaran pendidikan seperti ini, mana mungkin masyarakat yang berpendidikan akan tercipta? Mana mungkin proses kebangkitan bangsa akan berkembang pesat?

Kurikulum pendidikan sekolah formal lebih banyak menekankan aspek teoritis generalis daripada aplikasi dan spesialisasi. Pendalaman terhadap ilmu pun hanya berkisar pada tataran idealis berdasarkan teori bukan kepada masalah realistis, sehingga pengembangan kreativitas dan keahlian bidang IPTEK berjalan kurang baik. Hal inilah menyebabkan bangsa ini kurang produktif dalam menghasilkan produk-produk teknologi.

Pembinaan akhlak yang berlandaskan pada agama pun masih kurang. Pelajaran agama terkadang hanya dipandang sebagai penambah wawasan tanpa diwujudkan dalam bentuk moral dan akhlakul karimah. Ingatlah pepatah, Knowledge is power but character is more. Ilmu pengetahuan adalah utama, tetapi karakter (moral) lebih utama. Dan moral akan terbentuk bila seseorang memiliki pemahaman agama yang komprehensif. Terasa hampa jika pengetahuan kita luas dan IPTEK maju tapi pribadi kita sempit, egois, dan jauh dari etika moral yang mulia. Adalah kewajiban kita membentuk karakteristik ilmu padi. Semakin tumbuh tinggi, semakin merunduk. Semakin tinggi pengetahuan semakin rendah hati dan menjadi teladan bagi masyarakat baik dalam segi pemikiran maupun tindakan. Inilah yang kurang terasa pada output pendidikan saat ini.

Permasalahan pendidikan lain yang terjadi pada masyarakat kita adalah kurangnya atensi dan penghargaan pada guru. Padahal merekalah tulang punggung peradaban bangsa yang memberantas kebodohan yang melanda masyarakat. Adalah wajib bagi seorang guru untuk mendapat reward yang besar.

Dalam konteks persekolahan guru adalah ujung tombak. Guru memegang peranan yang sangat penting untuk menjamin proses pembelajaran bisa berlangsung. Mungkin itulah yang menjadi landasan pikiran bagi Ho Chi Min (bapak pendidikan Vietnam) yang mengatakan bahwa, No teacher No education. No education, no economic and social development. Begitu tingginya arti seorang guru bagi pembelajaran bangsa ini.

Bercerminlah pada Jepang. Ketika Hirosima dan Nagasaki dibom oleh tentara sekutu menggunakan bom atom sampai luluh lantah, Sang kaisar Jepang, Hirohito dengan penuh kekhawatiran langsung bertanya kepada pusat informasi. Tahukah anda apa yang dia tanyakan? Kaisar Hirohito bukan menanyakan berapa jumlah tentara, tank, pesawat tempur, kapal perang yang ada atau jumlah aset negara yang tersisa. Tapi yang ia tanyakan adalah berapa jumlah guru yang masih hidup? Luar biasa! Begitu fahamnya pemahaman sang pemimpin akan fungsi guru. Dia tidak khawatir Jepang akan hancur selamanya, karena guru masih banyak yang hidup. Memang tidaklah aneh, hanya dalam waktu yang singkat, Jepang sudah kembali seperti semula sebagai negara maju, berkat memaksimalkan fungsi dan peran guru untuk kebangkitan.

Pendidikan Indonesia harus segera dibenahi dan mendapat perhatian yang besar. Karena pendidikan adalah tonggak akselerasi kebangkitan nasional di era globalisasi ini. Kerja sama, analisa, dan dialog solutif perlu dilaksanakan oleh pemerintah dengan para pakar pendidikan, guru, scientist, ulama, dan pengusaha. Dengan usaha itu diharapkan permasalahan pendidikan (dana, kurrikulum dan sistem serta atensi pada SDM pendidikan) akan terpecahkan secara terprogram dan terstruktur. Jika hal ini berhasil, bukanlah suatu “hil yang mustahal”, bangsa Indonesia akan mampu menjadi negara maju minimal sejajar dengan negara-negara lain di dunia.

Semoga!

sumber: taufik79.wordpres.com

Pilkada dan Pembuktian Kaum Muda


Oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)


Pengantar

Kaum Muda kembali menampakkan “taring” di pentas pilkada. Setelah pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf secara mengejutkan memenangi pilkada Jawa Barat, kali in TGB Zainul Majdi – Badrul Munir (PBB & PKS) yang memenangkan pilkada di NTB. Kemenangan mereka juga mengejutkan sebab mengalahkan Lalu Serinata, gubernur incumbent yang diusung oleh Golkar-PDIP.

Selain dua pasangan muda tersebut, kita juga telah menemukan beberapa figur kaum muda yang berkompetisi di beberapa pilkada. Kita dapat menyebut Rosehan NB (Kalsel), Gatot Pujo Nugroho (Sumut), Syaifullah Yusuf (Jatim), Hadi Mulyadi (Kaltim), Nasir Jamil (Aceh), atau Zulkifliemansyah (Banten).

Ajang Pembuktian

Ada apa di balik “kemenangan” beberapa pemuda tersebut? Penulis memiliki beberapa pandangan mengenai fenomena ini.

Pertama, fenomena hadirnya kaum muda dalam pentas politik lokal mengindikasikan kebangkitan kembali peran politik pemuda. Selama beberapa dekade, peran politik pemuda tersubordinasi oleh pragmatisme orang-orang tua dan para birokrat yang menguasai pemerintahan. Pemuda seakan terpenjara dengan idealisme masing-masing tanpa bisa berbuat apa-apa secara politik.

Gaung reformasi yang berhembus di tahun 1998 ternyata mengubah visi ini. Pemuda mulai menunjukkan sinyal kebangkitan dengan munculnya anggota legislatif muda yang idealis di parlemen. Sebut saja nama Nusron Wahid (Golkar), Rama Pratama (PKS), atau Maruarar Sirait (PDIP). Sinyal ini kemudian menguat dengan majunya beberapa pemuda ke pentas pilkada di beberapa daerah. Fenomena ini menjadi tanda kebangkitan kembali peran politik pemuda.

Kedua, kemenangan pemuda dalam pilkada menunjukkan krisis kepercayaan masyarakat dengan “pemain lama” dalam politik. Fenomena Jabar dan NTB membuktikan hal ini. Kemenangan TGB Zainul Majdi (PBB-PKS) menumbangkan prediksi para analis yang lebih menjagokan Lalu Serinata, mengingat posisinya sebagai incumbent dan dukungan dari koalisi dua partai politik besar, yaitu Golkar dan PDIP. Fenomena serupa terjadi di Jabar yang memenangkan Ahmad Heryawan (PKS-PAN) atas Dani Setiawan (Golkar-Demokrat) dan Agum Gumelar (PDIP).

Krisis kepercayaan ini mengemuka karena “pemain lama” tersebut tidak melakukan perubahan berarti di masyarakat. Rakyat yang telah jenuh dengan kemiskinan dan ketidakpastian ekonomi, dalam pandangan penulis, lebih menginginkan calon yang progresif dan penuh dengan idealisme untuk melakukan perubahan. Kecenderungan ini mengakibatkan rakyat lebih memilih figur pemuda yang berkompetisi di Pilkada.

Ketiga, kemenangan kaum muda dapat disebabkan oleh menguatnya partisipasi politik pemuda dalam pilkada/pemilu. Di NTB, survey Lingkar Survey Indonesia menyebut bahwa tingkat partisipasi pemilih lebih dari 73%, sebuah pencapaian partisipasi politik yang cukup besar. Meski LSI tidak menganalisis hal di atas, penulis menilai kemenangan calon yang mewakili kaum muda (TGB Zainul Majdi) memiliki andil terhadap peningkatan partisipasi pemilih pemuda.

Selama ini, sikap pemuda dalam politik cenderung apatis dan nonpartisan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya intrik dan kontroversi dalam pentas politik nasional. Para pemuda juga menaruh ketidakpercayaan terhadap pemerintah karena seringkali terjadi clash antara aparat pemerintah dengan pemuda yang penuh dengan berbagai tuntutan demi kemajuan bangsa. Disadari atau tidak, masuknya kaum muda ke ranah politik praktis telah membuka mata sebagian besar pemuda akan pentingnya partisipasi dalam demokrasi.

Keempat, kemenangan kaum muda dalam pilkada tersebut dapat ditafsirkan sebagai awal dari perubahan peta politik nasional pada Pemilu dan Pilpes tahun 2009 nanti. Kaum muda akan menjadi sebuah elemen masyarakat yang diperhitungkan eksistensinya pada saat kampanye. Hal ini juga menjadi awal kemenangan partai-partai yang mengusung kepentingan kaum muda.

Dalam konteks yang lebih luas, pergeseran peta politik nasional pada 2009 tersebut setidaknya akan mempengaruhi beberapa hal, seperti munculnya partai politik yang mengusung idealisme pemuda, perubahan program kerja dan visi-misi partai/capres, serta awal dari munculnya kandidat pemuda dalam pemilihan presiden. Benar tidaknya analisis ini dapat dibuktikan pada pesta demokrasi 2009 nanti.

Quo-Vadis Pemuda?

Kemenangan TGB Zainul Majdi-Badrul Munir dalam Pilkada NTB dan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf dalam Pilkada Jabar telah membuka mata dunia bahwa pemuda masih eksis di Indonesia. Sebagai agen perubahan, mereka telah mewakili pemuda dalam membuat awal yang baik dalam demokrasi di Indonesia.

Ke depan, kita tinggal menantikan komitmen dan keberhasilan kerja mereka dalam membangun daerah masing-masing. Semua kontrak politik dan janji kampanye harus direalisasikan secara optimal sebagai konsekuensi amanah yang dipegang. Saya yakin, Tuan Guru Bajang Zainul Majdi, Lc., MA. dan Ahmad Heryawan, Lc. dapat menjawab tantangan ini.

Salam Pemuda, Salam Reformasi!


*) Penulis, Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM


Pemuda dan Agenda Reformasi Bangsa

Oleh: Gatot Yan. S*

Istilah pemuda atau generasi muda umumnya dipakai sebagai konsep untuk memberi generalisasi golongan masyarakat yang berada pada usia paling dinamis, yang membedakan dari kelompok umur anak-anak dan golongan tua. Menurut budayawan Taufik Abdullah, pemuda bukan cuma fenomena demografis, akan tetapi juga sebuah gejala historis, ideologis, dan juga kultural. (Pemuda dan Perubahan Sosial, LP3ES, 1987).

Dalam setiap episode transisi politik, peran pemuda-terutama para pemuda “elite” selalu terlibat di dalamnya. Mereka adalah generasi terpelajar - mahasiswa, profesional, akademisi, dan para aktivis pada umumnya - yang berasal dari kalangan menengah, tinggal di kota besar, memiliki kepekaan sosial dan empati politik yang tinggi.

Dalam konteks sejarah Indonesia, secara periodikal peran mereka dapat dibagi dalam angkatan 08, 28, 45, 66, 74, 80-an, hingga 90-an. Secara ideologis, mereka adalah golongan yang kritis adaptif serta sanggup melahirkan ide-ide baru yang dibutuhkan masyarakatnya. Sementara secara kultural, mereka adalah produk sistem nilai yang mengalami proses pembentukan kesadaran dan pematangan identitas dirinya sebagai aktor penting perubahan.

Sebagai golongan elite masyarakat, dalam banyak kasus, peran kaum muda amat menentukan arah kehidupan bangsanya. Seperti diulas Pareto, Mosca, atau Michel (1982), mereka adalah kaum elite yang memiliki mobilitas tinggi dan peran sentral dalam menentukan opini dan keputusan mayoritas. Pada gilirannya, kaum elite itulah yang mengontrol berbagai akses atas sumber daya ekonomi dan politik negara.

Jika pemuda angkatan 08 berhasil memupuk bibit nasionalisme, pemuda angkatan 28 sukses menggalang ideologi persatuan nasional. Sedangkan pemuda angkatan 45 sanggup mewujudkan cita-cita kemerdekaan. Untuk angkatan 66, 74, 80, hingga 98-an bisa dikatakan hanya mampu memerankan dirinya sebatas kekuatan korektif.

Pasca kekuasaan Orde Lama, politik nasional praktis berada di bawah kendali elite militer, khususnya angkatan darat. Pemuda 66 yang masuk dalam arena kekuasaan perannya tak lebih sebatas “penyuplai ide”, sementara mereka yang memilih berada di luar lingkar kekuasaan berfungsi tak lebih sebagai “pengritik” negara.

Pasca tumbangnya Orde Baru, selain melengserkan Soeharto dan membuka katup demokrasi, nyaris tak ada pembaruan mendasar yang bisa dilakukan pemuda dan gerakan mahasiswa. Mengutip hasil penelitian Lembaga Survei Indonesia (2007), salah satu kendala utama dalam menuntaskan agenda reformasi adalah sulitnya mencari sosok muda tampil mengimbangi peran elite mapan produkkepemimpinan politik Orde Baru.

Terhambatnya regenerasi kepemimpinan politik pemuda yang bisa berdiri sejajar dengan sosok mapan seperti Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Megawati Soekarnoputri atau Jusuf Kalla diperkirakan masih akan terus berlangsung hingga pemilu 2009. Elite Indonesia pascareformasi, sepertinya tengah mengalami pergeseran entitas, dari elite berbasis militer-politisi-birokrat ke elite berlatar aktivis-intelektual-entrepreneur.

Faktanya, jumlah mahasiswa dan geliat gerakan mahasiswa mengalami booming pada dekade 70-an, yang perannya tumbuh dan mengait kuat dengan dunia politik. Hal itu berpengaruh signifikan pada tampilnya kembali sosok politik pemuda. Pascakampus, para mantan aktivis mahasiswa aktif dalam organisasi kepemudaan, partai politik, LSM, perguruan tinggi, pers, dan dunia bisnis.

Kejatuhan rezim Soeharto menjadi momentum bagi para mantan aktivis mahasiswa untuk memasuki dunia politik praktis. Banyak di antara mereka, terutama mantan aktivis berlatar profesional-entrepreneur untuk duduk di lembaga legislatif maupun eksekutif, di level nasional maupun daerah. Namun, tak sedikit dari mereka yang memasuki arena kekuasaan harus mengalami disorientasi visi dan terjebak dalam arus pragmatisme politik.

Penyebabnya adalah, tren politik nasional diwarnai secara kental oleh kegiatan ekonomi pasar. Pasar telah menjadi arena political game baru, yang mempenetrasi wilayah politik dan perilaku para aktornya. Tren politik berbasis pasar (industri politik) juga tumbuh seiring dengan sikap elite politikyang kian arogan, parokial, dan partitokrat (perilaku partai yang suka “merampas” kedaulatan rakyat).

Dalam buku The Rise of Capital (1986), Richard Robinson menjelaskan bagaimana pengusaha mengendalikan negara melalui arena politik. Realitas politik itu sesungguhnya adalah wajah lain dari watak kekuasaan Orde Baru yang nepotik, kolutif, dan koruptif.

Ketika sikap pragmatisme para politico-business itu bersinerji dengan iklim politik pasar, maka bisa dipastikan dunia politik akan menjadi lawan dari demokrasi. Persoalannya kemudian, bagaimana menjamin proses transisi politik dari generasi tua ke generasi muda tidak kembali terjebak pada model regenerasi elitis, pragmatis, subjektif, dan fragmentatif?

Pertama, kaum muda harus berani merombak watak budaya politik “banalisme” yang menjadikan kekuasaan dan uang sebagai tujuan. Kedua, memperkuat komitmen penegakan hukum dan memfungsikan partai politik dan badan legislatif sebagai arena perjuangan kepentingan rakyat. Ketiga, mendorong birokrasi yang bersih, profesional, dan berorientasi pada pelayanan (good corporate governance). Keempat, mengefektifkan struktur kekuasaan yang mampu menjamin bekerjanya fungsi check and balance di antaralembaga-lembaga negara. Kelima, menumbuhkan etika dan etos berbisnis yang sehat, agar para entrepreneur yang menjadi pejabat publik tidak menjadikan kekuasaan sebagai alat baru bagi proses “akumulasi kapital”.

Ke depan, kiprah pemuda berlatar aktivis-intelektual-entrepreneur akan makin banyak masuk dalam kekuasaan. Kekhawatiran atas kiprah mereka amat wajar, mengingat iklim perselingkuhan “uang dan kekuasaan” yang dilakoni jenis elite “penguasa-pengusaha” itu kini tengah mendominasi wacana dan praktik politik mutakhir di Indonesia.

Pemuda sejatinya bisa menjawab tantangan dan kebutuhan zamannya, yaitu menuntaskan agenda reformasi yang terus tertunda. Seperti kata Max Weber, pemuda tak boleh menjadi ekor sejarah, yang gagal menunaikan peran historisnya.

* - Direktur Eksekutif LANSKAP (Lembaga Kajian dan Advokasi Kebijakan Publik).
- Sekjen TAGANA Provinsi Banten.

Ratu Atut Chosiyah, Satu Tahun Yang Menyesakkan..




Kartu nama putih dihiasi lis warna keemasan -senada dengan warna gambar burung Garuda dan tulisan ‘Gubernur Banten’- di letakkan Atut di atas meja. “Pelantikan baru dilaksanakan 11 Januari besok,” kata Atut sambil tersenyum.

Tetapi, sejak awal Desember lalu, Atut sudah menjadi orang nomor satu di Banten. Ia menang mutlak atas dua pesaing lainnya. Dan Atut berhak mencantumkan nama beserta ‘status’ barunya di kartu nama itu.
“Doakan saja ya, semoga bisa amanah,” kata wanita bergelas Sarjana Ekonomi ini lagi.

20 tahun Atut menjadi pengusaha. Sejak tahun 1981 hingga 2001, setahun sebelum ia dillantik jadi Wakil Gubernur Banten. “Jadi sudah 20 tahun saya bergelut di dunia enteprenuer. Dan saya berkeinginan bisa berbuat yang terbaik untuk tanah kelahiran saya, Banten. Oleh karena itu pemilihan 2001 saya manfaatkan sekali,” kata Atut penuh semangat.

Atut mengaku berjuang sendiri. Paling tidak, ia juga melihat latar belakang orang tuanya yang juga pengusaha. “Saya TK sampat SD di Banten, baru SMP saya di Bandung. Di Bandung saya mandiri. Saya usaha sendiri. Saya hanya minta masukan pada orang tua, tetapi saya lakukan sendiri semuanya,” ujar Atut.

Atut yang saat itu masih kelas 3 di SMA 12 Bandung mengurus sendiri semua surat dan berkas-berkas perusahaan. “Usaha kecil-kecilan, seperti pengadaan ATK (alat tulis kantor), suplai beras, dan sebagainya, yang sifatnya pengadaan. Dan Lama-lama kontruksi dan lain-lain,” kata Atut.

Sukses jadi pengusaha, Atut ingin berbagi kesuksesan di pemerintahan. “Jadi, ini (keputusannya terjun ke politik dan birokrasi) murni keinginan saya. Saya berpikir, wilayah mana yang bisa saya masuki untuk memberikan terbaik untuk Banten setelah jadi Propinsi. Yang sifatnya subjek bukan objek. Dari situ saya sampaikan ke suami dan keluarga. Awalnya mereka sepintas menanggapi dingin-dingin saja, karena saat itu mereka tahu, saya ini sedang betul-betul menikmati kesuksesan saya di dunia usaha,” kenang istri Drs H. Hikmat Tomet.

Pro dan Kontra


Pencalonan Atut langsung menuai pro kontra. Beberapa ulama menolak perempuan di provinsi yang saat itu baru saja dimekarkan. Alasan penolakan, didasarkan kapasitas perempuan yang tidak boleh menjadi imam, sehingga tidak boleh menjadi kepala daerah atau wakil kepala daerah.

Atut mengaku sedih. Anggota Badan Koordinasi Pembentukan Provinsi Banten ini sampai menitikkan air mata di tengah-tengah perenungan atas kodradnya. Apakah itu menjadi alasan dia tidak boleh memimpin? Sesaat, penolakan ini membuat nyalinya ciut.

“Tetapi, tidak semua ulama atau pemimpin pesantren berpandangan demikian. Ada pemimpin pesantren yang sangat tradisional, bahkan mesjidnya diharamkan menggunakan pengeras suara, justru tidak menyetujui pandangan yang menolak kepemimpinan perempuan. Pemimpin pesantren ini juga mengutip salah satu ayat Al-Quran, yang menyatakan bahwa Islam tidak menolak kepemimpinan perempuan,” tutur angggota Angkatan Muda Siliwangi Propinsi Banten ini tegar.

Semangat Atut muncul lagi. Ternyata, waktu berpihak padanya. Mantan Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadinda) Provinsi Banten ini berhasil menjadi Wakil Gubernur Provinsi Banten pertama di bawah kepemimpinan Gubernur H. Djoko Munandar. “Derajat seseorang, tidak ditentukan jenis kelamin laki-laki atau perempuan, tetapi amal ibadahnya,” katanya.

Atut menyadari masih ada orang-orang yang memandang rendah pada kemampuannya. “Tapi saya tidak pernah memikirkan sampai situ walaupun saya tahu ada orang yang under estimate pada kemampuan saya. Pada akhirnya mereka akan menilai kinerja yang telah saya lakukan. Itu prinsip saya. Saya tidak mau pusing dengan apa kata orang. Tetapi bukan berarti saya tidak peduli. Kalaupun ada kritik saya anggap sebagai masukan dan introspeksi buat saya. Tetapi terhadap yang mencibir saya anggap sebagai cambuk saja, bukan sebagai pikiran,” kata lulusan Akuntansi Perbankan ini.

Terbukti, banyak gebrakantelah dilakukan Atut selama 5 tahun menjadi Kepala Daerah. Salah satunya Perda yang ia buat untuk pemberdayaan Perempuan Banten. “Isinya, tentang alokasi anggaran 20 persen dari setiap program satuan kerja perangkat daerah, dinas biro, badan, harus dialokasikan untuk yang terkait dengan sentuhan pada hal-hal yang dibutuhkan perempuan. Tidak hanya di lingkup perempitah Provinsi, tapi juga dilakukan pemerintah Kabupaten Kota,” kata Peraih Anugerah Citra Kartini tahun 2003 ini

Atut turun langsung mensosialisaikan perda tersebut. Dan sudah di realisasikan, salah satunya lewat PKK. “Mereka betul-betul melakukan pembinaan sampai ke tingkat terendah di desa-desa. Pembinaan dilakukan oleh ibu-ibu istri pejabat. Termasuk bergabung dengan BKOW (Badan Koordinasi Organisasi Wanita). Sekaragn ada 50 organisasi perempuan di Banten yang masuk BKOW. Tujuang membina kaum perempuan. Itu program saya waktu jadi Wakil Gubernur. Dan akan terus di kembangkan setelah saya jadi Gubernur,” tegas Atut.

Bukti lainnya, meski usia Provinsi Banten masih 5 Tahun, lewat Pendapatan Asli Daerah sudah menduduki peringkat 6 dari 33 provinsi di Indonesia. “Ini sukses bersama,” ujar Atut merendah. Ternyata satu tahun silam, Atut hampir-hampir tidak bisa ‘bernafas’.

“Sejak Oktober 2005, saya diangkat jadi Pelaksana Tugas Gubernur karena Pak Gubernur sedang berhalangan. Disitulah saya betul-betul harus menjadi seorang pemimpin yang selain melaksanakan tugas dan fungsi saya sebagai Wakil, tetapi saya pun harus bisa menggantikan tugas dan fungsi Pak Gubernur,” kata Atut.
“Awalnya”, katanya lagi. “Saya kaget. Saya sempat merenung, karena saya memang tidak berharap. Saya berharap bisa menyelesaikan sampai 5 tahun bersama Pak Gubernur,” ujar Atut sungguh-sungguh.

“Itu sudah jadi takdir saya. Saya menjalankan tugas dan fungsi saya sebagai Kepala Daerah. Yah double. Setelah saya renung sesaat, saya harus tegar. Dan disitulah saya mempersiapkan diri untuk selalu sehat. Harus bekerja keras. Saya harus mempelajari semua program yang sudah ada. Alhamdulillah semua berjalan dengan baik. Akhir tahun ini sudah selesai semua tugas dan kewajiban kita,” lanjut Atut.

Atut berjanji, lima tahun mendatang, ia ingin berbagi waktu lebih ‘adil’ pada keluarganya. “Kelihatannya mereka memang tidak protes. Tapi terkadang mereka ingin ketemu, makan bareng dan lebih sering jalan sama-sama. Sebenarnya selama ini selalu saya sempatkan. Tapi InsyaAllah tahun depan akan saya sempatkan dan saya beri waktu lebih lama,” kata wanita kelahiran Ciomas Serang, 16 Mei 1962.

Berbicara tentang ketiga anaknya, Andika Hazrumy, Andriana Aprilia, dan Ananda Trianh Salichan, suara Atut melembut.
“Putra saya yang paling kecil, Alhamdulillah dewasa sekali. Dia SD kelas 4. Mungkin di hatinya itu (protes pada Ibunya) ada. Tetapi dia memahami apa yang jadi tugas saya. Kadang saya ajak dia kerja supaya dia bisa melihat. Dia selalu bilang, “Bunda, hari ini ada kerjaan nggak?” Kalau sudah begitu, pasti dia ingin sesuatu atau ingin diantar. Dia suka tanya dulu, tidak meminta dulu,” kata Atut dengan tatapan menerawang ke depan.

Saat itu, ia memang tida bisa langsung menjawab. “Tapi kalau saya sampaikan, ‘Bunda ada kerjaan dulu yang tidak bisa ditinggalkan,” yah sudah, dia tidak akan minta lagi. Kalau sifatnya penting sekali, saya akan tanyakan lagi. ‘Ananda mau apa?’ Kalau dia bilang mau diantar kesana, yah saya akan sempatkan,” ujar Atut.

Sesibuk apapun, Atut berusaha menjadi Ibu rumah tangga saat di rumah. “Tahun depan saya akan fokuskan perhatian ke keluarga. Bagaimanapun saya ingin mereka tumbuh sebagai anak dengan kemampuan pendidikan yang baik. Mendapatkan ilmu yang bermanfaat, yang bagaimanapun juga tidak lepas dari pantauan Ibu,” Atut berjanji.

Dengan adanya Wakil Gubernur, Atut berharap tugas-tugas kepemimpinannya mendatang bisa dibagi. “Semoga saya bisa bernafas lagi,” ujar Atut sambil tersenyum, lega.

sumber: mycita.multiply.com

Profil GUBERNUR BANTEN

Hj. Ratu Atut Chosiyah dilahirkan pada tanggal 16 Mei 1962 di Kampung Gumulung, Desa Kadubeureum, Kecamatan Pabuaran, Kabupaten Serang, Banten. Ratu Atut adalah sulung dari tiga bersaudara, putra-putri pasangan Haji Tubagus Chasan Sochib dan Hajjah Wasiah. Ratu Atut menjalani masa kecil, tumbuh dan berkembang bersama lingkungan masyarakat agraris dan agamis. Ia menamatkan Sekolah Dasar di kampungnya dan melanjutkan pendidikannya (SMP, SMA, Perguruan Tinggi) di Kota Bandung.

Di Kota Kembang ini pula, ia mulai merintis bisnisnya: berawal dari usaha kecil-kecilan sebagai supplier alat tulis dan kontraktor, kemudian berkembang pesat ke berbagai bidang, terutama perdagangan dan kontraktor. Sebagai pengusaha, Ratu Atut pernah menduduki sejumlah jabatan prestisius, antara lain: Ketua Kama Dagang dan Industri Daerah (KADINDA) Provinsi Banten, Ketua Asosiasi Distributor Indonesia (ARDIN) Provinsi Banten dan aneka organisasi lain.


Sebagai putri Banten, Ratu Atut merasa terpanggil untuk membangun Provinsi Banten, yang terbentuk pada pertengahan tahun 2001, dengan terlibat langsung sebagai pemegang kebijakan dalam pemerintahan. Ia terjun ke dunia birokrasi dengan mencalonkan diri sebagai Wakil Gubernur Banten periode 2002 – 2007. Dalam pemilihan di DPRD Banten, Ratu Atut bersama calon gubernur Djoko Munandar terpilih untuk memimpin Provinsi Banten. Pada tanggal 11 Januari 2002, Hj. Ratu Atut Chosiyah resmi menduduki jabatan Wakil Gubernur Banten. Dan pada awal tahun 2006, ia dipercaya sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Gubernur Banten.


Selama lima tahun Hj. Ratu Atut Chosiyah di pemerintahan, telah banyak pembangunan dan kemajuan di berbagai bidang. Hal itu bisa dilihat dari indikator-indikator ekonomi dan sosial selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2001 pertumbuhan ekonomi Banten meningkat dari 3,72% menjadi 5,33% di tahun 2002 dan terus meningkat di tahun 2003 dan 2004 yang masing-masing mencapai 5,62% dan 5,81%. Di tahun 2005 pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten kembali meningkat sekitar 6%. Bahkan di tahun 2006 Pemerintah Provinsi Banten, dibawah kepemimpinan Plt. Gubernur Hj.
Ratu Atut Chosiyah, menargetkan pertumbuhan ekonomi sebesar 6%.


Salah satu proyek andalan dalam rangka memacu pertumbuhan ekonomi adalah pembangunan Pelabuhan Bojonegara yang akan melengkapi dua pelabuhan besar yang sudah ada: Pelabuhan Penyembrangan Merak dan Pelabuhan Barang Cigading. Proyek Pelabuhan Bojonegara seluas 350 hektar ini rencanaya akan beroperasi pada tahun 2010 dan akan sangat signifikan mendongkrak pertumbuhan ekonomi Provinsi Banten.


Di tengah kesibukannya, istri H. Hikmat Tomet tak melupakan kodratnya sebagai seorang istri dan seorang ibu yang harus mendidik dan membesarkan ketiga anaknya. Pengakuan atas kesuksesannya sebagai seorang ibu, pengusaha dan pemimpin pemerintahan, tampak dari sejumlah penghargaan yang diterimanya, seperti : “Anugrah Citra Perempuan Indonesia” di bidang sosial dan wirausaha dari Yayasan Pesona Indonesia, serta Anugrah Citra Kartini 2003 dari Yayasan Prestasi Indonesia.


Disamping menggenjot roda perkonomian Banten, Ratu Atut juga sangat memperhatikan pembanguan sektor pedesaan. Beberapa program sektor pedesaan seperti program padat karya dalam bentuk pembangunan jalan lingkungan dan program penyediaan fasilitas air bersih dan sarana Madi Cuci Kakus (MCK) untuk meningkatkan kesehatan masyarakat; program Bantuan Keuangan (fresh money) yang diberikan kepada seluruh desa di Provinsi Banten; program Listrik Desa (Lisdes); serta program bantuan keterampilan dan peningkatan usaha mikro serta usaha kecil di pedesaan.


Di bidang kesehatan, Ratu Atut telah mencanangkan program “Banten Sehat 2008”. Program ini diharapkan nantinya akan mampu menciptakan masyarakat Banten untuk hidup dalam lingkungan yang sehat baik itu secara fisik maupun sehat secara sosial kemasyarakatan.
Selain itu program ini juga akan membimbing masyarakat untuk selalu berperilaku sehat. Sementara di bidang lingkungan hidup, Ratu Atut mendorong terciptanya lingkungan yang sehat. Salah satu program nyata telah diluncurkan Pemprov Banten yang bekerjasama dengan Kementerian Lingkungan Hidup yaitu program ”Super Kasih” (Surah Penyataan Kali Bersih). Program ini meyertakan dan mengajak para pengusaha untuk ikut menjaga kebersihan kali Cisadane dan Ciliwung.


Kiprahnya dipucuk pimpinan pemerintahan Banten telah menghantarkannya sebagai sosok perempuan pemimpin yang Cakap, Bijaksana dan Teruji. Dalam pandangan banyak tokoh dan masyarakat Banten, Ratu Atut dinilai sebagai putri asli Banten yang merakyat, toleran, dan relegius. Ia juga dipandang peduli terhadap kelompok masyarakat marjinal, kaum dhuafa serta pejuang hak-hak perempuan. Dalam konteks itu pula khalayak memintanya untuk meneruskan estafet kepemimpinannya.


Memenuhi panggilan tesebut dan berpijak pada pemikiran yang mendalam serta panggilan nurani maka dengan segala keikhlasan, Hj. Ratu Atut Chosiyah, SE terjun serta dalam Pemilihan Kepala Daerah (PILKADA) Banten yang telah digelar tanggal 26 November 2006 lalu.


sumber: www.penghubung.banten.go.id



Kaum Muda di Pentas Politik

Hari Sumpah Pemuda yang setiap tahun diperingati tanggal 28 Oktober, kali ini punya kesan istimewa. Kaum muda menjadikan tanggal 28 Oktober tahun ini sebagai momentum untuk kebangkitan kaum muda di pentas politik.

Menjelang Pemilu 2009, kiprah kaum muda dalam politik makin kentara. Bila sebelumnya ada kesan diremehkan, kini kaum muda tampil lebih pede. Bahkan tidak jarang mereka menampilkan kepemudaannya. Berdasarkan penelusuran Radar Banten, sejumlah kaum muda memang berani tampil dalam kancah perpolitikan regional dan nasional.

Sederetan nama tercantum dalam daftar calon anggota legislatif (caleg) sementara dan bakal calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Banyak di antara mereka yang berada di nomor urut jadi. Meski demikian, banyak juga kaum muda yang masih diposisikan di nomor urut sepatu (terakhir).

Yuswita, misalnya. Caleg DPRD Banten dari PPP ini masih berumur 21 tahun dan belum menikah. Yuswita mencalonkan diri dari daerah pemilihan Kabupaten Tangerang. Namun Yuswita tidak seberuntung kaum muda lain. Dia ditempatkan pada nomor urut 22.

Tidak hanya Yuswita yang ingin berkiprah dalam politik. Asep Mulyawan S, caleg dari Partai Persatuan Daerah (PPD) yang berusia 22 tahun juga menunjukkan taji. Asep menjadi caleg nomor urut dua untuk DPRD Banten dari daerah pemilihan Lebak.

Dalam pencalonan, DPD ada nama Andhika Hazrumy. Bakal calon anggota DPD ini terlahir di Bandung pada 16 Desember 1985. Anak Gubernur Ratu Atut Chosiyah ini masih berusia 23 saat mendaftarkan diri sebagai bakal calon anggota DPD di KPU Banten. Lebih tua dari Andhika ada nama Eva Susanti, caleg DPRD Banten dari PKS. Saat ini Eva berusia 31 tahun dan dicalonkan dari daerah pemilihan Pandeglang di nomor urut 3.

Ketertarikan mereka ke dunia politik karena mereka menganggap lembaga legislatif saat ini belum menjalankan tugas dan fungsi secara maksimal. Caleg DPRD Pandeglang dari PBB Bayu Kusumah mengaku, caleg muda tampil untuk regenerasi, pendidikan politik bagi masyarakat, dan memberikan pilihan bagi pemilih. Selama ini caleg yang diusung partai hanya itu-itu saja tanpa ada perubahan yang signifikan. “Yang perlu dilakukan anggota dewan terpilih adalah bekerja optimal sesuai aturan yakni pengawasan, legislasi dan budgeting. Ini yang perlu digarisbawahi,” kata Bayu.

Kata Bayu, memberanikan mencalonkan menjadi caleg bukan semata-mata kekuasaan melainkan untuk memberikan pendidikan politik. “Bila pendidikan politik lebih baik maka berpengaruh terhadap pelaksanaan Pemilu,” paparnya. Senada dikatakan caleg lainnya Erin. Menjadi anggota dewan merupakan sarana berbuat bagi masyarakat. “Generasi muda harus mampu mengubah sistem pemerintahan yang cenderung buruk. Sudah saatnya generasi muda diberi kesempatan untuk menjadi wakil rakyat,” katanya.

BEKALI DIRI

Caleg DPR nomor urut 2 dari Partai Golkar Tb Iman Ariadi mengatakan, kiprah pemuda di kancah politik diharapkan dapat membawa semangat Soekarno-Hatta. “Yang sudah masuk ke kancah politik harus memiliki kapabilitas tinggi. Kalau cuma ikut-ikutan dan masuk ke kancah politik hanya untuk coba-coba, maka akan menimbulkan keterpurukan di masa depan. Kita harus mencontoh semangat Soekarno-Hatta yang juga terjun ke politik masih muda dan berhasil memberikan yang terbaik untuk negeri,” ujarnya.

Iman yang juga anggota DPRD Banten ini menegaskan, pemuda harus mulai menunjukkan kapasitas intelektual dan tidak coba-coba. Iman mengajak pemuda untuk bangkit dan membuktikan bahwa mereka dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat. “Kita tunjukkan bahwa pemuda dapat membangun negara ini dengan sumbang pemikiran, usaha yang keras, dan semangat untuk memberikan yang terbaik untuk semua,” tandasnya.

Di tempat berbeda, Pembantu Dekan III Fisip Untirta Idi Dimyati mengatakan, tampilnya kaum muda dalam kancah politik tidak terlepas dari alam keterbukaan di era reformasi ini. “Kaum muda sudah berani tampil harus diapresiasi dengan baik. Namun mereka tidak cukup hanya mengandalkan kepemudaan saja. Saya kira mereka juga harus membekali diri dengan kompetensi,” ujarnya.

Diakui Idi, saat ini masih ada sebagian besar masyarakat yang belum sepenuhnya mempercayai kaum muda. “Itu terjadi karena kaum muda tidak cukup bekal untuk menjadi pemimpin,” pungkasnya. Idi menambahkan, bila kaum muda ingin tampil lebih percaya diri harus dulu introspeksi diri untuk mengasah kemampuan.

Hal senada diungkap Muhibuddin, dosen IAIN SMH Banten, Kata Muhibudin, agar kaum muda tidak berbesar hati. Menurutnya, kaum muda juga harus membekali diri dengan kemampuan intelektual. “Keberanian kaum muda tampil dalam kancah politik merupakan keberanian yang positif. Namun hendaknya keberanian itu harus didukung dengan kemampuan intelektual, kecakapan pribadi, dan kemampuan manajerial,” katanya.

Kata Muhibudin, bila kaum muda membekali diri dengan baik dapat bersaing dengan kaum tua. “Kaum muda harus siap untuk tampil dengan kemampuan sendiri,” tandasnya. Baik Muhibudin maupun Idi Dimyati berharap bila banyak kaum muda yang terpilih menjadi wakil rakyat di dewan dapat membawa perubahan sebagaimana yang mereka gaungkan. “Mereka harus selalu ingat dengan visi dan misi perubahan. Jangan lupa dengan janji,” ujar Muhibudin. (alt/adj/fal)

sumber: radar banten


BANGKITNYA BANGSA


Oleh: ANDIKA HAZRUMY



Bangsa yang memiliki pemuda berdaya dari sisi intelektual, kompetensi, mental, spiritual, keahlian, maupun kecakapan merupakan sebuah keuntungan bagi bangsa itu sendiri. Dengan segala keberdayaan itu, pemuda akan tampil didepan membawa nama bangsa, memiliki kekuatan membangun warga bangsanya.

Indonesia punya sejarah cemerlang dalam pergerakan kepemudaan yang berdaya itu, sejak masa revolusi kemerdekaan hingga pasca-proklamasi.

Saat ini, penting bagi kita semua kaum muda untuk mengulang sejarah cemerlang di zaman kemerdekaan yang kita nikmati sekarang. Ilmu pengetahuan tak cuma bisa didapat dari sekolah formal, mental dan spiritual yang kuat bisa kita asah dimanapun, keahlian dan kecakapan bisa kita dapatkan dalam kehidupan sehari-hari yang dekat dengan kita. Asal ada kemauan dan nurani yang terasah pula disertai kepekaan sosial yang tinggi.

Seperti sebuah tulisan yang saya baca di media internet, mengatakan, “Dari sejak dulu hingga sekarang, pemuda adalah pilar dari bangkitnya suatu bangsa. Dalam setiap kebangkitan yang terjadi pada suatu bangsa, pemuda merupakan rahasia terdalamnya. Dan dalam rahasia tersebut, yang menjaga dan sekaligus menjadi kekuatannya adalah pemuda itu sendiri. Dimana pemuda merupakan pengibar dari panji-panji bangkitnya suatu bangsa” (tribas, 2008)