Oleh: Ahmad Rizky Mardhatillah Umar *)
Pengantar
Kaum Muda kembali menampakkan “taring” di pentas pilkada. Setelah pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf secara mengejutkan memenangi pilkada Jawa Barat, kali in TGB Zainul Majdi – Badrul Munir (PBB & PKS) yang memenangkan pilkada di NTB. Kemenangan mereka juga mengejutkan sebab mengalahkan Lalu Serinata, gubernur incumbent yang diusung oleh Golkar-PDIP.
Selain dua pasangan muda tersebut, kita juga telah menemukan beberapa figur kaum muda yang berkompetisi di beberapa pilkada. Kita dapat menyebut Rosehan NB (Kalsel), Gatot Pujo Nugroho (Sumut), Syaifullah Yusuf (Jatim), Hadi Mulyadi (Kaltim), Nasir Jamil (Aceh), atau Zulkifliemansyah (Banten).
Ajang Pembuktian
Ada apa di balik “kemenangan” beberapa pemuda tersebut? Penulis memiliki beberapa pandangan mengenai fenomena ini.
Pertama, fenomena hadirnya kaum muda dalam pentas politik lokal mengindikasikan kebangkitan kembali peran politik pemuda. Selama beberapa dekade, peran politik pemuda tersubordinasi oleh pragmatisme orang-orang tua dan para birokrat yang menguasai pemerintahan. Pemuda seakan terpenjara dengan idealisme masing-masing tanpa bisa berbuat apa-apa secara politik.
Gaung reformasi yang berhembus di tahun 1998 ternyata mengubah visi ini. Pemuda mulai menunjukkan sinyal kebangkitan dengan munculnya anggota legislatif muda yang idealis di parlemen. Sebut saja nama Nusron Wahid (Golkar), Rama Pratama (PKS), atau Maruarar Sirait (PDIP). Sinyal ini kemudian menguat dengan majunya beberapa pemuda ke pentas pilkada di beberapa daerah. Fenomena ini menjadi tanda kebangkitan kembali peran politik pemuda.
Kedua, kemenangan pemuda dalam pilkada menunjukkan krisis kepercayaan masyarakat dengan “pemain lama” dalam politik. Fenomena Jabar dan NTB membuktikan hal ini. Kemenangan TGB Zainul Majdi (PBB-PKS) menumbangkan prediksi para analis yang lebih menjagokan Lalu Serinata, mengingat posisinya sebagai incumbent dan dukungan dari koalisi dua partai politik besar, yaitu Golkar dan PDIP. Fenomena serupa terjadi di Jabar yang memenangkan Ahmad Heryawan (PKS-PAN) atas Dani Setiawan (Golkar-Demokrat) dan Agum Gumelar (PDIP).
Krisis kepercayaan ini mengemuka karena “pemain lama” tersebut tidak melakukan perubahan berarti di masyarakat. Rakyat yang telah jenuh dengan kemiskinan dan ketidakpastian ekonomi, dalam pandangan penulis, lebih menginginkan calon yang progresif dan penuh dengan idealisme untuk melakukan perubahan. Kecenderungan ini mengakibatkan rakyat lebih memilih figur pemuda yang berkompetisi di Pilkada.
Ketiga, kemenangan kaum muda dapat disebabkan oleh menguatnya partisipasi politik pemuda dalam pilkada/pemilu. Di NTB, survey Lingkar Survey Indonesia menyebut bahwa tingkat partisipasi pemilih lebih dari 73%, sebuah pencapaian partisipasi politik yang cukup besar. Meski LSI tidak menganalisis hal di atas, penulis menilai kemenangan calon yang mewakili kaum muda (TGB Zainul Majdi) memiliki andil terhadap peningkatan partisipasi pemilih pemuda.
Selama ini, sikap pemuda dalam politik cenderung apatis dan nonpartisan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya intrik dan kontroversi dalam pentas politik nasional. Para pemuda juga menaruh ketidakpercayaan terhadap pemerintah karena seringkali terjadi clash antara aparat pemerintah dengan pemuda yang penuh dengan berbagai tuntutan demi kemajuan bangsa. Disadari atau tidak, masuknya kaum muda ke ranah politik praktis telah membuka mata sebagian besar pemuda akan pentingnya partisipasi dalam demokrasi.
Keempat, kemenangan kaum muda dalam pilkada tersebut dapat ditafsirkan sebagai awal dari perubahan peta politik nasional pada Pemilu dan Pilpes tahun 2009 nanti. Kaum muda akan menjadi sebuah elemen masyarakat yang diperhitungkan eksistensinya pada saat kampanye. Hal ini juga menjadi awal kemenangan partai-partai yang mengusung kepentingan kaum muda.
Dalam konteks yang lebih luas, pergeseran peta politik nasional pada 2009 tersebut setidaknya akan mempengaruhi beberapa hal, seperti munculnya partai politik yang mengusung idealisme pemuda, perubahan program kerja dan visi-misi partai/capres, serta awal dari munculnya kandidat pemuda dalam pemilihan presiden. Benar tidaknya analisis ini dapat dibuktikan pada pesta demokrasi 2009 nanti.
Quo-Vadis Pemuda?
Kemenangan TGB Zainul Majdi-Badrul Munir dalam Pilkada NTB dan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf dalam Pilkada Jabar telah membuka mata dunia bahwa pemuda masih eksis di Indonesia. Sebagai agen perubahan, mereka telah mewakili pemuda dalam membuat awal yang baik dalam demokrasi di Indonesia.
Ke depan, kita tinggal menantikan komitmen dan keberhasilan kerja mereka dalam membangun daerah masing-masing. Semua kontrak politik dan janji kampanye harus direalisasikan secara optimal sebagai konsekuensi amanah yang dipegang. Saya yakin, Tuan Guru Bajang Zainul Majdi, Lc., MA. dan Ahmad Heryawan, Lc. dapat menjawab tantangan ini.
Salam Pemuda, Salam Reformasi!
*) Penulis, Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM
Pengantar
Kaum Muda kembali menampakkan “taring” di pentas pilkada. Setelah pasangan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf secara mengejutkan memenangi pilkada Jawa Barat, kali in TGB Zainul Majdi – Badrul Munir (PBB & PKS) yang memenangkan pilkada di NTB. Kemenangan mereka juga mengejutkan sebab mengalahkan Lalu Serinata, gubernur incumbent yang diusung oleh Golkar-PDIP.
Selain dua pasangan muda tersebut, kita juga telah menemukan beberapa figur kaum muda yang berkompetisi di beberapa pilkada. Kita dapat menyebut Rosehan NB (Kalsel), Gatot Pujo Nugroho (Sumut), Syaifullah Yusuf (Jatim), Hadi Mulyadi (Kaltim), Nasir Jamil (Aceh), atau Zulkifliemansyah (Banten).
Ajang Pembuktian
Ada apa di balik “kemenangan” beberapa pemuda tersebut? Penulis memiliki beberapa pandangan mengenai fenomena ini.
Pertama, fenomena hadirnya kaum muda dalam pentas politik lokal mengindikasikan kebangkitan kembali peran politik pemuda. Selama beberapa dekade, peran politik pemuda tersubordinasi oleh pragmatisme orang-orang tua dan para birokrat yang menguasai pemerintahan. Pemuda seakan terpenjara dengan idealisme masing-masing tanpa bisa berbuat apa-apa secara politik.
Gaung reformasi yang berhembus di tahun 1998 ternyata mengubah visi ini. Pemuda mulai menunjukkan sinyal kebangkitan dengan munculnya anggota legislatif muda yang idealis di parlemen. Sebut saja nama Nusron Wahid (Golkar), Rama Pratama (PKS), atau Maruarar Sirait (PDIP). Sinyal ini kemudian menguat dengan majunya beberapa pemuda ke pentas pilkada di beberapa daerah. Fenomena ini menjadi tanda kebangkitan kembali peran politik pemuda.
Kedua, kemenangan pemuda dalam pilkada menunjukkan krisis kepercayaan masyarakat dengan “pemain lama” dalam politik. Fenomena Jabar dan NTB membuktikan hal ini. Kemenangan TGB Zainul Majdi (PBB-PKS) menumbangkan prediksi para analis yang lebih menjagokan Lalu Serinata, mengingat posisinya sebagai incumbent dan dukungan dari koalisi dua partai politik besar, yaitu Golkar dan PDIP. Fenomena serupa terjadi di Jabar yang memenangkan Ahmad Heryawan (PKS-PAN) atas Dani Setiawan (Golkar-Demokrat) dan Agum Gumelar (PDIP).
Krisis kepercayaan ini mengemuka karena “pemain lama” tersebut tidak melakukan perubahan berarti di masyarakat. Rakyat yang telah jenuh dengan kemiskinan dan ketidakpastian ekonomi, dalam pandangan penulis, lebih menginginkan calon yang progresif dan penuh dengan idealisme untuk melakukan perubahan. Kecenderungan ini mengakibatkan rakyat lebih memilih figur pemuda yang berkompetisi di Pilkada.
Ketiga, kemenangan kaum muda dapat disebabkan oleh menguatnya partisipasi politik pemuda dalam pilkada/pemilu. Di NTB, survey Lingkar Survey Indonesia menyebut bahwa tingkat partisipasi pemilih lebih dari 73%, sebuah pencapaian partisipasi politik yang cukup besar. Meski LSI tidak menganalisis hal di atas, penulis menilai kemenangan calon yang mewakili kaum muda (TGB Zainul Majdi) memiliki andil terhadap peningkatan partisipasi pemilih pemuda.
Selama ini, sikap pemuda dalam politik cenderung apatis dan nonpartisan. Hal ini disebabkan oleh banyaknya intrik dan kontroversi dalam pentas politik nasional. Para pemuda juga menaruh ketidakpercayaan terhadap pemerintah karena seringkali terjadi clash antara aparat pemerintah dengan pemuda yang penuh dengan berbagai tuntutan demi kemajuan bangsa. Disadari atau tidak, masuknya kaum muda ke ranah politik praktis telah membuka mata sebagian besar pemuda akan pentingnya partisipasi dalam demokrasi.
Keempat, kemenangan kaum muda dalam pilkada tersebut dapat ditafsirkan sebagai awal dari perubahan peta politik nasional pada Pemilu dan Pilpes tahun 2009 nanti. Kaum muda akan menjadi sebuah elemen masyarakat yang diperhitungkan eksistensinya pada saat kampanye. Hal ini juga menjadi awal kemenangan partai-partai yang mengusung kepentingan kaum muda.
Dalam konteks yang lebih luas, pergeseran peta politik nasional pada 2009 tersebut setidaknya akan mempengaruhi beberapa hal, seperti munculnya partai politik yang mengusung idealisme pemuda, perubahan program kerja dan visi-misi partai/capres, serta awal dari munculnya kandidat pemuda dalam pemilihan presiden. Benar tidaknya analisis ini dapat dibuktikan pada pesta demokrasi 2009 nanti.
Quo-Vadis Pemuda?
Kemenangan TGB Zainul Majdi-Badrul Munir dalam Pilkada NTB dan Ahmad Heryawan-Dede Yusuf dalam Pilkada Jabar telah membuka mata dunia bahwa pemuda masih eksis di Indonesia. Sebagai agen perubahan, mereka telah mewakili pemuda dalam membuat awal yang baik dalam demokrasi di Indonesia.
Ke depan, kita tinggal menantikan komitmen dan keberhasilan kerja mereka dalam membangun daerah masing-masing. Semua kontrak politik dan janji kampanye harus direalisasikan secara optimal sebagai konsekuensi amanah yang dipegang. Saya yakin, Tuan Guru Bajang Zainul Majdi, Lc., MA. dan Ahmad Heryawan, Lc. dapat menjawab tantangan ini.
Salam Pemuda, Salam Reformasi!
*) Penulis, Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional UGM