08 November 2008

MORALITAS POLITIK Dan POLITIK PEMUDA



Oleh: Usman Hamid dan John Muhammad


Saat diminta “Suara Muhammadiyah” untuk menulis masalah moralitas para elit politik saat ini, langsung terlintas dalam benak saya; “apalagi yang harus ditulis? apalagi yang mesti diterangkan? Itu semua sudah amat jelas diterangkan dan tertuliskan oleh berbagai surat kabar. Ah, barangkali lebih baik jika saya menulis tema lain yang lebih bermanfaat, itu pun karena waktu yang terbatas, dibantu seorang sahabat John Muhammad. Misalnya, seputar wacana kepemimpinan kaum muda yang kini kian sering diperbincangkan sebagai upaya mengubah keadaan politik yang stagnan karena macetnya regenerasi politik.

Barangkali tema ini akan lebih merefleksikan, memroyeksikan peran pemuda bagi masa depan tanah air sekaligus mematahkan anggapan ahistoris bahwa kaum muda be- lum matang dalam berpolitik.

Atau bisa saja tema ini kita sambungkan dengan revolusi kemerdekaan Republik Indonesia yang baru saja kita peringati kemenangannya. Selanjutnya, kita juga bisa menyeberang ke bagian dunia lain untuk belajar, seperti di Iran sambil mengingat-ingat kembali penggalan sejarah penting seputar revolusi Iran dan bagaimana pemuda di sana memperbaiki tanah airnya. Semua tema seputar pemuda dalam tulisan ini melampaui sekadar muara pewacanaan kepemimpinan kaum muda dalam kerangka kekuasaan politik, melainkan hendak memberi sebuah jendela agar kita, para pemuda, melihat Indonesia jauh ke depan dalam bingkai revolusi moral atau kultural.

Pemuda di Sekitar kemerdekaan

Jakarta, 15 Agustus 1945, sore hari di asrama BAPERPI, Jalan Cikini nomer 71, tampak sekumpulan pemuda berkumpul di sana. Menunggu dengan cemas dan penuh harap. Tak lama kemudian datang seorang pemuda, Wikana, si pembawa berita. Chaerul Saleh, salah seorang pemuda yang menunggu itu lekas menanyakan hasil dan dijawab dengan emosi oleh Wikana, “Bung Karno menolak, malah kami dimaki-maki. Kita semua dimaki-maki!”. Belum hilang dengungan suara Wikana, Djohar Noor yang juga sedari tadi menunggu segera melontarkan kata-kata, “Angkat saja”, sambil melonjak dari tempat duduknya. Yang lain juga ikut berdiri dan mengemukakan persetujuannya, “Segera bertindak!” dan keputusan pun ditetapkan: Soekarno dan Hatta harus diangkat (diculik) dari rumahnya masing-masing.

Demikianlah kemudian, Soekarno dan Hatta diculik dengan maksud diamankan ke Rengasdengklok, Jawa Barat pada tanggal 15-16 Agustus 1945. Peristiwa penculikan ini kemudian sering disebut-sebut orang sebagai “Peristiwa Rengasdengklok”. Adapun maksud utama dari penculikan ini selain untuk mengamankan sekaligus memaksa Soekarno dan Hatta untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia.

Seperti diceritakan pada awal tulisan ini maka mendekati proklamasi, suasana perbedaan pendapat tidak terelakkan lagi. Kelompok tua seperti Soekarno, Hatta dan Sjahrir menginginkan kepastian terlebih dahulu untuk memroklamirkan kemerdekaan Indonesia, seperti: validitas berita kekalahan Jepang dengan Sekutu, persiapan konsep kenegaraan yang belum matang dan faktor keamanan.

Namun, para pemuda seperti Sukarni, Chaerul Saleh, Djohar Noor, Wikana, Adam Malik dan lain-lain memiliki perhitungan lain. Mereka menganggap jikalau proklamasi tidak cepat-cepat dilakukan, maka akan ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi, (1) Jepang sebagai pihak yang kalah perang akan menyerahkan seluruh inventaris jajahannya (termasuk Indonesia) pada pihak sekutu dan (2) proklamasi tetap dilangsungkan didasarkan atas “pemberian” izin Jepang ataupun Sekutu, maka menimbulkan kesan hutang-budi atau campur tangan politik lainnya. Begitulah akhirnya Soekarno dan Hatta terpaksa mengikuti kemauan para pemuda-pemuda ini.

Di Rengasdengklok pada tanggal 16 Agustus 1945, sebuah proklamasi – sebagai suatu pernyataan kemerdekaan – sebenarnya sudah dilangsungkan. Saat itu, dengan gaya khas pemuda, Sukarni, dr. Soetjipto, Singgih dan kawan-kawannya mengadakan upacara bendera dan pernyataan kemerdekaan (disampaikan oleh H. Affan, seorang Perwira PETA). Sedangkan para hadirinnya cuma tukang sayur, tukang grabah, petani, tukang kain, mandor jalan, pegawai, juru tulis, juru telepon dan semacamnya. Kesederhanaan “proklamasi” ini semakin tampak, tatkala pidato H. Affan itu disambut riang gembira, joget-joget dan tidak sedikit yang mengharukan peristiwa ini. Selepas upacara, dengan polosnya, para pemuda ini menunggu kehadiran “pembesar-pembesar” yang akan menemui Soekarno-Hatta.

Bayangan mereka, berita ini segera menyebar dan Soekarno-Hatta segera menerima kedatangan tamu kenegaraan. Dapat kita duga hasilnya, pembesar-pembesar itu tidak ada yang datang, yang hadir justru hanya Paduka Tuan Rengasdengklok-Guncho (Camat Rengasdengklok), itu pun setelah dipaksa-paksa dan Mr. Soebardjo yang sedang mencari-cari Bung Karno dan Bung Hatta. Selepas waktu ashar, tidak ada pilihan lagi untuk mengembalikan Bung Karno dan Bung Hatta ke Jakarta, apalagi telah terjadi kesepakatan untuk memroklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus (esok harinya).


Malam itu juga hingga pagi harinya, Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dipersiapkan. Kali ini persiapannya jauh lebih matang. Tokoh-tokoh tua diikutsertakan dan bekerja sama dengan anak-anak muda tadi. Rapat yang dilakukan di rumah Laksamana Maeda (sekarang Jalan Imam Bonjol no. 1, Taman Surapati) berlangsung seru. Perdebatan paling keras adalah mengenai siapa yang akan menandatangani proklamasi. Kelompok tua menginginkan naskah proklamasi itu ditandatangani oleh PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang memang sudah dibentuk Pemerintah Jepang) tetapi Soekarni dan kawan-kawan menginginkan agar ditandatangani pemuda saja. Bung Karno mencoba menengahi dengan memberi usul agar semua yang hadir saat itu ikut menandatangani semua, tetapi beberapa masih belum setuju. Atas usulan Chairul Saleh, akhirnya diputuskan bahwa naskah proklamasi cukup ditandatangani oleh Bung Karno dan Bung Hatta sebagai wakil dari Bangsa Indonesia.

Hikmah Revolusi Iran

Ayatullah Khomeini, dalam Hokumat-i-Islami me-ngatakan “Hanya satu Islam yang benar, yaitu: yang dibawa Nabi Muhammad saw. Beliau membawa Islam yang revolusioner. Karenanya, Islam yang benar adalah Islam yang revolusioner.” Ingat Revolusi Iran berarti ingat Imam Ayatullah Khomeini. Memang, Revolusi yang terjadi di Iran (1978-1979) itu tak lepas dari peranan manusia bernama lengkap Imam Ayatullah al-Uzma Sayyid Ruhollah al-Musavi al-Khomeini yang lahir di kota Khumayn, dekat Isfahan, sekitar 300 kilometer selatan Teheran, pada tanggal 24 September 1902.

John L. Esposito menjuluki Ayatullah Khomeini sebagai “living symbol and architect of Islamic revolution of Iran”. Karena jasanya itu pulalah beliau diangkat menjadi Rahbar (Pemimpin) Revolusi Islam, sebagaimana yang tercantum dalam Konstitusi Iran yang disahkan pada Desember 1979. Khomeini memang pribadi yang kharismatik. Mantan Ketua PP Muhammadiyah DR. HM Amien Rais (pernah menjadi Ketua MPR RI) berkesempatan melihat rumah Ayatullah yang sederhana, sewaktu berkunjung ke Teheran, Oktober 1991. Luas Rumah itu tidak lebih dari 100 meter persegi. Di ruang tamu hanya terdapat sofa tua tempat Ayatullah menerima para tamu negara. Bahkan, semasa pembuangannya di Prancis beliau hanya tinggal di sebuah tenda di pinggiran kota Paris. Potret ini amat kontras dengan potret kehidupan elit-elit politik zaman sekarang di Indonesia.

Gus Dur – KH Abdurrahman Wahid – yang pernah menjadi Presiden Indonesia pada salah satu tulisannya pernah menulis bahwa Ayatullah Khomeini adalah tokoh kontroversial. Beliau dikagumi bak “malaikat” dan sekaligus dibenci bagaikan “setan”. Beliau memang wajar dibenci oleh Dunia Barat karena dialah, tokoh yang berhasil “mencampakkan” Amerika dari Iran. Kata William Shawcross, salah seorang wartawan senior Barat, “Sejak awal 1979, Ayatullah Khomeini selalu merepotkan Barat yang ia pandang sangat rendah. Bagi banyak warga Barat, ia tampak seperti musuh yang bengis dan bahkan sinting, simbol yang mengerikan dari angkara murka dan kebencian yang tidak terduga, tak bisa dimengerti, dan tak terkendali”.


Revolusi Iran pada tahun-tahun 1978 sampai 1979 memang tidak muncul begitu saja. Revolusi ini sesungguhnya sudah dimulai sejak 1950-an, oleh DR. Mohammad Mossadeq (pendiri Front Nasional), kemudian oleh Khomeini sendiri pada “Pemberontakan Juni” di tahun 1963. Pemberontakan tersebut mengakibatkan diusirnya Khomeini ke Turki dan kemudian ke Irak pada 1965. Namun, revolusi ini sesungguhnya “embrio” dari pecahnya Revolusi Islam di Iran pada 1979, seperti halnya Revolusi 1905 yang menjadi “embrio” Revolusi Bolshevik di Rusia.

Keunikan lain adalah kenyataan bahwa Revolusi Islam Iran berbeda dengan gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir yang meletakkan titik berat pada tarbiyyah (pendidikan perorangan), maupun gerakan Jama’ati Islami di Pakistan yang meletakkan titik berat pada tantangan intelektual. Revolusi Iran juga berbeda dengan Revolusi Prancis (1789) dan Revolusi Rusia (1917). Revolusi Iran memiliki kekhasan. Revolusi ini didasarkan pada ideologi keagamaan dan keyakinan-keyakinan islamis serta tujuan-tujuan hidup Islamis dan Qur’anis, dan didorong oleh alim ulama (rohaniawan) yang terjun langsung dalam masalah politik, perebutan kekuasaan, mendirikan negara serta sistem kehidupan Islam (Mahzab Syiah).

Jalannya Revolusi Islam di Iran dipengaruhi oleh banyak faktor. Yang pertama adalah krisis ekonomi, sosial dan budaya akibat kediktatoran monarki rezim yang dipimpin oleh Syah Reza Pahlevi. Kedua adalah budaya homogen masyarakat Iran. Masyarakat Iran memiliki ideologi yang sama, yakni Islam dan mahzab Syiah memang mendominasi keseluruhan masyarakat di Iran. Mahzab Syiah berkembang di Iran sudah sangat lama. Menurut S. Hussain M. Jafri, Syiah, selain lahir karena faktor politis (dalam arti kekuasaan atau kepemimpinan) mengenai pemimpin umat Islam yang menggantikan Nabi Muhammad SAW, namun Syiah juga dibangun oleh faktor “kesukuan” dan alasan historis. Masyarakat Syiah di Iran mempercayai bahwa mereka adalah keturunan Sahabat Ali dan Nabi Muhammad SAW. Ketiga adalah faktor Ayatullah Khomeini sendiri.

Khomeini secara cerdas berhasil menyatukan dan meyakinkan persatuan antara penganut Mahzab Sunni dan Syiah di Iran. Khomeini pulalah yang berhasil merumuskan struktur kenegaraan “Republik Islam” secara politik dan hukum, hingga permasalahan sosial lainnya. Keempat, adalah – justeru – faktor peranan Barat serta kesalahan pemerintah Syah Iran. Mereka tidak pernah menyangka bahwa mengusir dan membiarkan Ayatullah tinggal di salah satu negara Eropa (Prancis), bukan saja membuat jaringan komunikasinya semakin meluas namun malah semakin mendapat simpati serta menambah banyak pengikutnya.


Yang menarik, selama revolusi berlangsung dan direncanakan, Khomeini tidak pernah sekalipun menginjakkan kakinya di Iran. Bahkan hingga Syah Iran berhasil ditumbangkan (diusir ke Aswan, Mesir pada 16 januari 1979), Khomeini belum juga kembali ke Iran. Persis ramalan Nostradamus, “Di Persi (Iran) akan ada seseorang dari kekuatan luar yang akan menggulingkan kekuasaan di dalam Persi’, begitulah seperti yang kami tonton pada salah satu acara televisi pada suatu kesempatan tentang ramalan-ramalan Nostradamus. Entah suatu kebetulan, namun jelas sekali yang dimaksud dengan “seseorang dari kekuatan luar” adalah Imam Khomeini.

Urgensi Perubahan Budaya

Jika anda mau menengok dan membaca kembali keadaan politik tanah air saat ini, kita akan merasa bahwa cita-cita mengenai Republik Indonesia masih sangat jauh dari harapan kita saat ini. Akhirnya kita harus sampai pada kesimpulan awal, yaitu: pentingnya suatu perubahan dalam pola pikir dan budaya bangsa kita dengan sesegera mungkin. Apa yang harus kita lakukan? Bagaimana melakukannya? Kali ini kami mengajak anda untuk menyimak berbagai model perubahan, berikut dengan langkah-langkah taktisnya. Yang kami tawarkan pada anda saat ini adalah revolusi dan perlawanan. Namun, sekali lagi, langkah-langkah tersebut bukanlah satu urutan atau order (perintah) untuk dilaksanakan, melainkan hanyalah referensi kita saja, kemudian andalah yang menentukan, mau dimodifikasi, dievaluasi atau langsung dipraktekkan, kesemuanya terserah anda.

Revolusi dalam Reformasi memunculkan banyak pertanyaan. Kita tidak akan masuk dalam perdebatan benar atau salah dari strategi perubahan (reformasi) kita ini. Tapi kita justeru mengambil kesimpulan lain, yaitu bahwa ide revolusi atau perubahan secara cepat ternyata lebih fleksibel karena memang variabel penentu dari revolusi adalah waktu. Sehingga apapun prosesnya, transformasi atau reformasi kita ini, selama berjalan dalam waktu yang cepat dapat saja kita katakan revolusi.

Orang Inggris di abad tujuh belasan, pada saat mesin uap ditemukan dan industri maju pesat, tidak mengatakan perubahan itu sebagai revolusi, tetapi setelah mengetahui bahwa perubahan tersebut berjalan sangat cepat (menurut ukuran mereka) baru mereka sadar bahwa mereka telah melakukan revolusi. Begitu pula dengan protes-protes masyarakat Amerika Serikat dan Barat umumnya mengenai kebebasan seks (dalam tuntutan liberalisasinya), mereka menjalani perubahan dengan biasanya saja dan tidak menyadari bahwa mereka telah melakukan suatu revolusi.


Seperti mereka, kita tidak akan menyadari bahwa gerakan reformasi ini berjalan cepat atau lambat (apalagi hal ini masih perdebatan). Namun, tatkala (mungkin) nanti kita semua merasakan perubahan berjalan cepat maka serta merta orang akan mengatakan, “Wah, ini sih, revolusi damai”. Oleh karena itu, kita meletakkan kata “revolusi” pada perubahan pemikiran kita dengan harapan perubahan tersebut berjalan cepat dan yang terpenting memacu akselerasi gerakan reformasi. Pengertian gampangnya, gerakan “revolusi budaya” merupakan bagian dari gerakan reformasi secara keseluruhan atau di dalam reformasi ada revolusi budaya. Selain harapan mempercepat reformasi maka istilah “revolusi budaya” dalam konteks istilah revolusi lainnya, seperti “revolusi fisik”, “revolusi rakyat” atau “revolusi kemerdekaan” mungkin jauh lebih diinsyafi karena tidak mengandung makna destruktif (merusak), layaknya abad pencerahan (renaissans) di Eropa maka “revolusi budaya” lebih dekat pada makna saving (menyelamatkan).

Sebenarnya perubahan budaya berlangsung terus menerus dan secara korektif diperbaiki oleh manusia. Masih ingat cerita Qabil, anak Adam yang membunuh saudaranya sendiri? Cerita itu menggambarkan betapa bodohnya manusia sehingga untuk menguburkan mayat saja harus meniru binatang. Namun, proses perubahan budaya tersebut memiliki percepatan yang berbeda-beda, ada yang cepat dan ada yang lambat. Nah, perubahan budaya yang dicatat sejarah sebagai perubahan yang berlangsung secara revolusioner adalah:

Perubahan dan perkembangan budaya masyarakat di Jazirah Arab pada abad ke tujuh, bersamaan dengan masuknya agama Islam. Sebelum Islam masuk, dibanding bangsa lainnya, Arab adalah bangsa yang sangat terbelakang bahkan bukan secara intelektual saja, namun budaya membunuh, perbudakan dan lain-lain sangatlah lazim disana. Namun, hadirnya Islam dengan Muhammad SAW sebagai pimpinannya, mulai merubah tradisi bangsa tesebut. Thomas Carlyle, dalam tulisannya: The Hero as The Prophet, mengungkapkan bagaimana dalam tempo satu abad saja telah mengubah masyarakat di Timur belahan dunia yang bodoh-bodoh itu tumbuh dan melahirkan manusia-manusia super. Ibnu Khaldun (sosial), Ibnu Syna (kedokteran), Ibnu Rusyd (pemerintahan dan hukum), Ibnu Taimiyah (politik) atau Al Jabar (matematika) adalah sebagian kecil dari keberhasilan revolusi pemikiran di Arab.

Perubahan dan perkembangan budaya masyarakat di Eropa pada abad pertengahan, yang dikenal dengan masa renaissance atau pencerahan. Memang, perubahan ini tidak lepas dari perkembangan di jazirah Arab tadi. Melalui Perang Salib-lah terjadi transfer of knowledge (pertukaran ilmu pengetahuan) antara bangsa Timur dan Barat terjadi. Redupnya aktivitas berpikir bangsa Arab akibat pertikaian diantara mereka sendiri yang kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat Eropa untuk mempelajari karya-karya bangsa Arab tersebut. Leonardo da Vinci, Michelangelo, Donatello dan kawan-kawannya merupakan manusia-manusia yang serba bisa dan mempelajari banyak hal dari mulai seni, teknik sampai sosial-politik. Macchiavelli adalah salah satu pelopor strategi dan taktik politik modern.

Revolusi Industri di Inggris yang ditandai dan diawali dengan penemuan mesin uap oleh James Watt. Kemudian diikuti dengan berbagai penemuan teknologi mulai dari mobil, pesawat terbang hingga atom. Revolusi Industri sangat mempengaruhi kebudayaan dan pola pikir. Mesin yang menggantikan peranan manusia akhirnya melahirkan paham Materialisme yang dikembangkan oleh Hegel, Marx dan Engels. Pemikiran ini akhirnya berkembang menjadi dua cabang pemikiran, yaitu Kapitalisme dan Komunisme. Walaupun begitu dalam kedua perbedaan ini, muncul pemikiran lainnya di dunia pemerintahan, yaitu: demokrasi.

Demokratisasi di abad pertengahan dan akhir keduapuluh ini, termasuk di dalamnya revolusi anti-komunis di Eropa Timur (1989) dan gerakan bunga di Amerika Serikat (1969). Demokrasi berkembang pesat, tuntutan rakyat akan hak-hak pribadi dan kolektifnya semakin tidak dapat dibendung lagi. Amerika Serikat dan Eropa memulainya dengan Liberalisme (kebebasan) sedang yang lainnya dengan Otoriterianisme (pengekangan). Mulanya, otoriterianisme runtuh terlebih dahulu (Soviet, Polandia, Rumania dan negara Eropa Timur lainnya) dan memodifikasi diri dengan cara mengadopsi demokrasi disana-sini. Sampai saat ini Liberalisme masih menjadi wacana utama dalam penuntutan hak-hak manusia, namun belajar dari Amerika Serikat, ternyata semakin lama mereka pun muak dengan kebebasan murni yang mereka miliki selama ini. Mereka membebaskan berbagai hal seperti seks, senjata atau pasar bebas. Tetapi saat ini mereka sadar dan mulai mengontrol kebebasan itu seperti pornografi ditentang (banyaknya kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual), kepemilikan senjata mulai diatur (pembunuhan berantai oleh siswa-siswa dan UU Monopoli diperketat (kasus Microsoft, misalnya). Bahkan, untuk melawan rasisme, mereka juga melakukan terobosan, yaitu dengan memperkenalkan UU anti-diskriminatif, dimana menggilirkan posisi struktural dalam suatu lingkungan antara minoritas dan mayoritas dengan jangka waktu tertentu. Misalnya, dalam suatu perusahaan yang struktur kepemimpinannya didominasi oleh orang kulit puitih maka dalam jangka waktu tertentu perusahaan tersebut harus memberikan kesempatan pada kelompok minoritasnya untuk menduduki posisi strukturalnya tersebut. Ada banyak contoh lain yang mungkin tak cukup untuk dilukiskan dalam tulisan singkat ini.


Uraian di atas mudah-mudahan menambah semangat kita sebagai pemuda, memperbaiki budaya yang meliputi seluruh aspek sosial. Belajar dari pengalaman yang bukan sekadar memberi inspirasi untuk mengubah zaman yang lebih adil dan damai, juga menegaskan bahwa cita-cita itu tak bisa otomatis terwujud hanya lewat revolusi politik, pergantian struktur kekuasaan politik. Melainkan juga mensyaratkan revolusi sosial yang mengubah tatanan sosial ekonomi, moda produksi, serta relasi sosial orang miskin dengan orang kaya, buruh dengan perusahaan, petani dengan pemilik modal dan seterusnya, bahkan lebih jauh dari itu diperlukan sebuah kesungguhan untuk mewujudkan sebuah revolusi kultural di mana setiap orang memiliki kesadaran politik dan rasa solidaritas sosial. Ke arah itulah cita-cita kaum muda menuju.

Wallahu a’lam