08 November 2008

Gramatika Politik Pemuda


Oleh: Muhammad Kasman


Telah menjadi hukum sejarah, bahwa setiap angkatan muda hidup dalam era dan zamannya masing-masing, termasuk angkatan muda di indonesia. ini tidak berarti bahwa ada penggalan-penggalan fase sejarah yang terpisah pada setiap generasi, melainkan bahwa setiap generasi mempunyai problem kesejarahannya masing-masing yang harus dipertanggungjawabkan demi kontinuitas sejarah kemanusiaan.

karena perbedaan problem zaman yang dihadapi oleh setiap generasi, mengakibatkan munculnya solusi problem yang juga berbeda-beda. solusi yang ditawarkan oleh setiap generasi atas zamannya masing-masing diejawantahkan dalam bangunan gramatika politik yang khas. begitupun dengan beberapa lapis generasi manusia indonesia sampai pada hari ini, telah melahirkan berbagai gramatika politiknya masing-masing.

tentu kita mengenal periodisasi angkatan muda indonesia, beberapa generasi telah berhasil membangun gramatika politiknya sendiri, tapi tidak sedikit juga yang sesungguhnya hanya melanjutkan gramatika politik generasi sebelumnya, atau bahkan hanya melaksanakan gramatika politik yang diproduksi oleh kelompok lain. yang paling fenomenal dari beberapa periode angkatan muda indonesia adalah angkatan 28 dengan sumpah pemudanya dan angkatan 45 yang mengantarkan indonesia ke pintu kemerdekaan.

sumpah pemuda sudah berusia 77 tahun, sebuah usia yang demikian panjang untuk sebuah gramatika politik yang dicetuskan oleh kaum muda. sumpah pemuda dapat dikatakan berhasil, karena semua gerakan aksi dan aktivitas dari generasi pemuda setelahnya, hanyalah merupakan kelanjutan atau reaktualisasi dari gramatika politik ini, meskipun dengan cara yang berbeda. kenyataan ini melanda baik angkatan ’45, angkatan ’66 maupun angkatan ’98.

gramatika politik baru
memang tidak ada yang salah dalam gramatika politik angkatan ’28 ini, sebagai produk dari sebuah generasi, sumpah pemuda sangat berhasil menjalankan fungsi pada zamannya. namun kita harus realistis bahwa era dan zaman yang dihadapi oleh setiap generasi memiliki problem yang berbeda. sehingga sangat mendesak untuk kembali dilakukannya perumusan gramatika politik baru bagi kaum muda.

dalam realitas, kita dapat menyaksikan bagaimana gerakan kaum muda hari ini belum menghasilkan sesuatu yang signifikan bagi perbaikan bangsa dan negara. ini diakibatkan karena kaum muda terjebak pada gramatika politik yang diproduksi oleh kaum tua yang sampai hari ini masih bercokol disemua level kehidupan politik kenegaraan kita, baik itu di eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

gramatika politik kaum tua menjebak gerakan kaum muda hanya berkutat pada persoalan-persoalan artifisial kebangsaan, seperti isu bbm, penyaluran dana kompensasi serta kinerja eksekutif, legislatif dan yudikatif. sudah saatnya pemuda kembali melakukan konsolidasi menyeluruh untuk menunjukkan eksistensi dan keberadaannya yang signifikan dalam percaturan kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.

pilihan untuk merumuskan kembali gramatika politik kaum muda dilakukan setelah melihat bahwa efektifitas gerakan angkatan muda sebelumnya bisa berhasil karena ditopang oleh gramatika politiknya. gramatika politik bermain di wilayah bahasa, sementara itu, bahasa sebagai praktik material dibentuk sedemikian rupa oleh jalinan kondisi dan pengalaman sosial kompleks yang melingkupinya (ashcroft, dkk 1989). jadi gerakan muda akan mampu menjawab tantangan zamannya jika memiliki sebuah rumusan gramatika politik yang mumpuni.

dengan gramatika politik baru, kaum muda hari ini bisa menunjukkan eksistensinya dan akan mampu mengambil alih wilayah sentrum bahasa dari kamu tua dengan gramatika politiknya sendiri dan mengisinya dengan bahasa baru yang sepenuhnya sudah disesuaikan dengan konteks era dan zaman serta problem yang dihadapi. dengan adanya gramatika politik yang baru, kaum muda akan mampu menjadi kekuatan untuk membangun wacana tanding atas hegemoni kaum tua.

setidaknya, gramatika politik baru bekerja di tiga lapis wacana (discourse) yaitu, pertama, wilayah wacana (field of discourse) dimana titik tekan gramatika politik difokuskan untuk menggeser tema. tema wacana politik selama ini masih tetap dikendalikan oleh kaum muda dan menggiring gerakan muda untuk hanya ikut bermain dalam tema wacana politik yang telah mereka produksi. generasi muda hanya menjadi konsumen dan tidak mampu melepaskan diri karena warna patronase politik yang masih kental dalam realitas perpolitikan indonesia. gerakan kaum muda indonesia belum pernah menjangkau wilayah paradigmatik tapi hanya pada wilayah pragmatik.

kedua, mode wacana (mode of discourse). dalam lapisan ini, gramatika politik baru kaum muda harus diterjemahkan pada tataran kata-kata. dalam lapisan inipun dominasi kaum tua masih sangat kuat, terminologi-terminologi yang lazim digunakan dalam dunia politik, belum ada yang baru, semua berkutat pada terminologi yang itu-itu saja. sebagai contoh, pada hari ini, mode wacana kaum muda dijebak untuk hanya mengucap isu korupsi, kolusi dan nepotisme.

ketiga, lapisan ini mempersoalkan tentang penyampai wacana (tenor of discourse), titik tekannya pada persoalan otoritas. maksudnya bahwa gramatika politik kaum muda harus bisa menjadi pencerminan otoritas kaum muda dalam membangun wilayah wacana (field of discourse) dan memproduksi mode wacana (mode of discourse). dalam realitasnya, gerakan kaum muda belum berhasil muncul sebagai otoritas politik yang mandiri.

sebenarnya kondisi ketidakmampuan generasi muda memproduksi gramatologi politik baru menunjukkan sebuah proses kolonisasi kesadaran oleh kaum tua terhadap gerakan kaum muda. setelah demikian lama, sudah selayaknya gerakan kaum muda tidak lagi ditunggangi oleh kekuatan tua. kaum muda harus muncul sebagai kekuatan pembaharu yang diharapkan mengantar bangsa ini pada tata hidup yang lebih beradab dengan gramatika politik baru.

inilah yang beberapa puluh tahun yang lalu menjadi harapan mulia dari muhammad hatta, lahirnya “generasi baru kaum terdidik, dengan kemampuannya untuk membebaskan diri dari kolonial, lebih mungkin mengambil inisiatif untuk membangkitkan kekuatan rakyat dan menyediakan basis teoritis bagi aksi-aksi kolektif”. hatta menanti lahirnya angkatan muda seperti ini, apakah sekarang adalah saat yang tepat? jawabnya kembali pada kita semua para generasi muda…