Belenggu politik kaum muda selama orde baru bukan hanya menjadi penjara politik yang menyengsarakan, tetapi telah mengerdilkan peran pemuda. Eksistensi pemuda hanya sebagai pelengkap penderita bagi “demokrasi palsu” yang menjadi icon orde baru. Tumbangnya orde baru menjadi angin segar bagi gerakan demokrasi sesungguhnya, di mana politik telah menjadi pasar bebas bagi pencari kekuasaan politik. Meski belum sepenuhnya bebas dari intervensi khususnya dari pemimpin partai politik.Tidak heran jika geliat politik pemuda semakin ramai mewarnai wilayah politik saat arus gerakan demokrasi di era reformasi ini. Sebagian sudah terlibat penuh dalam “pertarungan politik”, baik legislatif maupun eksekutif. Pemuda tidak lagi menjadi penonton, tetapi telah menjadi aktor berpengaruh, bahkan sebagian sudah terlibat menjadi tim sukses, konsultan politik, bahkan sebagian sudah berani tampil sebagai kandidat bupati maupun gubernur meski hanya sedikit yang berhasil.
Sudah saatnya pemuda harus tampil di berbagai tempat, mengisisi peluang-peluang strategis yang masih tersedia, selama kompetisi itu terbuka secara adil. Pemuda tentu sudah terbiasa dengan peran-operan strategisnya, sebagaimana yang ditampilkan saat ini dan di masa lalu, pemuda tidak henti-hentinya mengusung agenda perubahan yang lebih baik untuk masyarakat. Hanya saja ikhtiar pemuda belum begitu optimal, karena pemuda hanya diposisikan di luar arena kekuasaan, belum menjadi pemegang kekuasaan yang tentu lebih muda mengarahka kekuasaan itu dalam konsep ideal pemuda untuk egenda perubahan bangsa.
Pemuda selalu dinomorduakan dalam posisi kepemimpinan nasional maupun lokal. Padahal mereka (kalangan tua) mengakui betul kemampuan pemuda dalam agenda perubahan. Tetapi, dalam kekuasaan politik ada keengganan untuk menyerahkannya kepada pemuda. Kekuasaan dianggapnya sebagai implementasi budaya politik keluarga, di mana orang tua yang selalu berkuasa. Kalangan tua lebih yakin dengan berbagai pengalamannya dianggap lebih matang menjadi seorang pemimpin.
Statemeant “pemuda adalah pemimpin bangsa masa depan”, adalah upaya sakralisasi posisi pemuda itu sendiri dengan berbagai keistimewaannya. Padahal, kalimat itu bisa menjadi belenggu kultural yang bisa menghalangi langkah pemuda untuk tampil bersaing dengan kalangan tua. Pemuda dilegitimasi untuk menjadi pemimpim berikutnya saat usianya sudah tidak lagi menjadi pemuda. Belum lagi tantangan dan keraguan pada kepemimpinan datang dari kalangan pemuda itu sendiri.
Di lain pihak, memang sangat tidak bijaksana kalau kita melakukan dikotomi antara kalangan tua dan muda dalam perebutan kepemimpinan nasional maupun lokal oleh karena berbagai sebab: (1) setiap warga Negara punya hak yang sama tampil menjadi pemimpin, tua dan muda tidak menjadi persoalan; (2) tidak yang bisa memastikan kalangan muda lebih baik, lebih berkualitas dan lebih mampu melakukan perubahan ketimbang dengan kalangan tua; (3) problem bangsa saat ini, Bukan semata-mata problem kepemimpinan tua dan muda, apalagi soal moralitas pemuda atau tua karena susah untuk menyimpulkannya. Selain karena implementasi pembangunan politik, ekonomi dan berbagai aspek kehidupan belum sepenuhnya berihak kepada kepentingan rakyat dan bangsa, juga karena masih terjadi keselahan dalam mengelola Negara.
Tetu tidak ada yang bisa memastikan bahwa kepemimpinan pemuda bisa menjadi solusi yang terbaik untuk keluar dari berbagai masalah yang kompleks. Karena perbedaan umur tidak akan bisa menjadi jaminan kualitas dan kemampuan seseorang dalam memimpin, belum bisa dijadikan indikator inovatifnya seorang pemimpin.
Namun demikian, ada keharusan agar kita bisa lebih “legowo” melihat geliat pemuda dalam wilayah politik, dengan berbagai warna-warninya. Idealisme pemuda dengan segenap harapan-harapan idealnya, tidak sabar melihat kondisi kebangsaan kita yang belum bisa bangkit dari krisis. Posisi tawar pemerintah dalam menghadapi Negara maju semakin lemah, begitu lemahnya sehingga tidak kuasa menolak apalagi melawan intervensi-nya. Pemerintah seperti terhipnotis atas berbagai tawaran Negara-negara maju, jadilah kita seperti Negara boneka, dengan sedkit otoritas. Kita punya sumber daya alam yang begitu besar tetapi sangat sedikit jumlahnya yang bisa kita nikmati.
Korupsi masih terus meraja lela di berbagai tempat, menyebabkan kita belum bisa keluar dari predikat Negara korupsi. Tingkat kepercayan pemuda termasuk masyarakat pada umumnya mulai menurun pada pemimpin sekarang ini. Meski bukan krisis kepemimpinan, tetapi jika dibiarkan bisa menjadi “penyakit kronis” yang akan menurunkan partisipasi publik. Kemiskinan dan kebodohan semakin mengakar di tengah masyarakat, diperkuat dengan kondisi pengangguran yang menambah kompleks problem kebangsaan.
Kondisi itulah yang menyebabkan lahirnya kegelisan pemuda dalam bentuk geliat politik dalam berbagai ranah kehidupan khususnya pada basis kekuasaan. Pemuda melihat adanya kegagalan yang nyata oleh kepemimpinan kaum tua yang mendominasi kekuasaan politik (presiden, gubernur dan bupati) dari era orde baru sampai reformasi sekarang ini. Pemuda ingin membuktikan diri, bahwa lebih mampu melakukan perubahan. Meskipun masih sebatas semangat dan mimpi indah, karena kenyataannya belum ada bukti kongkrit untuk itu.
Agar pemuda tidak hanya dikatakan bermodalkan semangat dan menawarkan mimpi indah, perlu ada konsep yang lebih matang dan strategi yang lebih jitu dalam mengelola rumah besar Indonesia. Karena memimpin negeri ini bukan tanpa hambatan, problem yang begitu kompleks, diperkuat dengan manuver sebagian pemuda yang jauh dari idealisme pemuda pada umumnya. Sebagian pemuda tidak lagi takut kehilangan idealismenya untuk kepentingan sesaat, di mana ruang politik menawarkan “surga” yang selama ini dicarinya. Termasuk pemuda yang selama ini dalam posisi dilematis, karena masih dihadapkan pada jeratan kemiskinan dan kebodohan yang jumlahnya tidak sedikit.
Pemuda harus membuktikan kemampuannya, menampilkan semaksimal mungkin daya tawar yang boleh jadi tidak dimiliki oleh pemimpin kalangan tua. Salin itu, tawaran konsep untuk bangkit dari krisis menjadi fundamental. Selanjutnya, manuver pemuda masa kini sudah mulai menata jalan yang lebih baik, jalan baru yang bisa dilalui bersama. Menjalin hubungan baik dan networking yang lebih kuat, saling memberdayakan satu sama sama lain tanpa memandang profesi, etnis dan golongannya.
Kalau bukan sekarang kapan lagi, nasehat yang sangat baik bagi kaum muda. Sosialisasi dan konsolidasii kepemimpinan kaum muda sudah harus digelorakan di tengah masyarakat. Sebagai alternatif atas lambannya agenda perubahan. Sambil membangun komunikasi sefektif mungkin di kalangan muda. Rasa solidaritas dan persatuan terbangun tentu tidak hanya lahir karena beban dan penderitaan yang sama dalam menghadapi kolonialisme, tetapi juga bisa lahir oleh karena cita-cita dan harapan yang sama akan negeri yang betul-betul bebas merdeka dari segala bentuk penindasan dan belenggu penderitaan.
Elit pemuda sekarang baik legislatif, yudikatif maupun dalam eksekutif harus memperlihatkan contoh yang terbaik. Memaksimalkan posisinya untuk kepentingan publik. Manuver politik yang dimainkan betul-betul diarahkan untuk kepentingan bangsa, bukan untuk kepentingan diri dan kelompoknya masing-masing. Karena sedikit saja kesalahan elit pemuda, bukan hanya merusak perjuangan pemuda tetapi merusak citra pemuda. Apalagi manuver politiknya terlihat dengan jelas hanya untuk meraih kekuasaan semata, jangan harap bisa meraih simpatik dan dukungan dari kaum muda.
sumber: gp-ansor.org