Oleh : Abdul Latief
Sebagai bangsa yang sudah lebih dari 53 tahun menghirup hawa segar kemerdekaan, Indonesia ternyata masih dibayang - bayangi potret suram sejarah pendidikannya. Betapa tidak, semua penjajah yang datang ke Indonesia, dari mulai Portugis, Inggris, dan Belanda, tak satupun bangsa penjajah itu, memberikan perhatian khusus bagi pendidikan Indonesia. Bahkan, hanya menyisakan sayatan luka, bagi carut -marutnya generasi bangsa Indoensia.
Bicara perkara sejarah masuknya pendidikan di Indonesia, dimulai dari terjadinya krisis ekonomi di Belanda. Krisis ekonomi yang disebabkan oleh over produksi yang melanda Belanda. Over produksi hasil rempah-rempah dari sistem tanam paksa, mendorong Belanda memerlukan tenaga administratif dalam mengolah hasil rempah-rempah.
Untuk mengatasi persoalan demikian, Belanda mengetukpalukan kebijakan Politik Etis. Dimana, salah satu dari kebijakan politik etis tersebut adalah dengan memberikan kesempatan bagi penduduk Indonesia , untuk mengenyam pendidikan sampai level tertentu.
Kebutuhan akan tenaga administratif tersebut, hanya bisa dilakukan dengan mendidik, dan memperkenalkan baca tulis kepada Kaum Pribumi. Sebab, jika tenaga administratif diambil dari Belanda, maka akan malah menambah beban biaya.
Kesempatan bagi Kaum Pribumi mengenyam pendidikan, hanya diberikan kepada anak-anak dari Kalangan Bangsawan. Sedangkan, bagi masyarakat 'golongan bawah', tidak diberikan kesempatan mengenyam dunia pendidikan. Diskriminasi perolehan pendidikan bagi Kaum Pribumi, dilakukan semata-mata untuk tetap menjaga keberlangsungan kebodohan rakyat tanah jajahan.
Ironisnya, pola pendidikan yang berbasis pada kepentingan kaum pemodal, ternyata diadopsi oleh sistem pengelola pendidikan sekarang. Kurikulum pendidikan Indonesia tidak bebasis pada sebuah penanaman jiwa kemandirian, cinta tanah air, pengabdian dan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia . Kurikulum yang dibuat, lebih banyak berkiblat kepada kepentingan tarakumulasinya modal.
Dilain sisi, untuk dapat mengenyam bangu sekolahan, biayanya seperti tersangkut di awan tinggi. Komersialisasi pendidikan merebak, ibarat jamur yang bertumbuhan di musim penghujan. Bangku sekolahan telah dimonopoli oleh kalangan berpunya.
Pendidikan di Indonesia; Masalah yang Bermasalah.
Dunia pendidikan Indonesia serasa berada di persimpangan, bingung, dan tersesat. Begitu peliknya permasalahan pendidikan negeri ini, sehingga menjadi pantas bagi kita untuk menundukkan kepala, pertanda; 'Turut berduka cita atas matinya pengetahuan di negeri ini'.
Dunia pendidikan Indonesia serasa telah terpenjara dalam banyak kepentingan modal. Untuk mengatasi persoalan krusial ini, kita tidaklah berkemampuan membedahnya secara sepotong-sepotong. Tetapi, harus menyelami dan masuk untuk mengentaskan masalah intinya.
Pemasalahan pendidikan yang ada, bisa dilihat dari banyaknya angka putus sekolah di negeri ini. Mahalnya biaya pendidikan, diikuti dengan melangitnya harga-harga buku, dan biaya-biaya siluman lainnya, yang kerap mengganggu nyenyak tidur para wali murid (orangtua).
Imbasnya, secara psikologis, para orangtua menjadi enggan untuk menyekolahkan anaknya setinggi mungkin. Pragmatisme para orangtua tersebut dilegitimasi oleh sebuah pembenaran kuno dan klise; sekolah setinggi apa pun, ujung-ujungnya akan menjadi pengangguran pula. Tanpa sekolah pun, mereka dapat hidup. Sekolah diamini hanya sebagai sebuah kegiatan yang menghambur-hamburka n uang.
Fenomena ini, sepatutnya menjadi perhatian lebih bagi para pengelola Negara. Kebutuhan akan sebuah pendidikan yang murah, menjadi kebutuhan yang paling mendesak. Alokasi anggaran bagi dunia pendidikan di Indonesia harus mendapatkan tempat ataupun posisi yang teratas. Kalau memang negeri ini mau menjadi sebuah bangsa yang beradab. Karena ukuran majunya suatu bangsa adalah sejauh mana tekhnologi itu dikuasai oleh masyarakatnya. Salah satu cara yang paling memungkinkan, masyarakat menguasai tekhnologi adalah; dengan dibukanya seluas dan semurah mungkin pendidikan bagi masyarakat.
Ironisnya, Pemerintah tidak peka mengamati fenomena ini. Alokasi anggaran pendidikan, tidak tersubsidi secara baik, malah kecenderungannya, subsidi tersebut dipotong untuk mengatasi alokasi sektor lain.
Pada tataran birokrasi, pemerintah sangat kurang memberikan perhatian bagi terselenggaranya sebuah pendidikan yang ideal, di negeri ini. Hal itu tercermin, dari pola kebijakan birokrasi yang agak memberatkan, dalam manajemen pengelolaan dunia pendidikan.
Seperti apa yang diungkapkan di atas, untuk menangani perkara ini, hampir sama kesulitannya memindahkan Gunung Galunggung ke Banten. Butuh penelitian dan kajian yang sangat komprehensif.
Artinya, kalau memang pendidikan harus menjadi murah, gaji guru pun harus diperhatikan. Jika gaji guru, rendah. Maka, otomatis kaum pendidik akan mengajar dengan ogah-ogahan. Jika sudah demikian, dipastikan kualitas pendidikannya pun menjadi lemah syahwat.
Pun demikian halnya, jika pendidikan menjadi murah, akan mempengaruhi sarana dan prasarana dunia pendidikan. Jika sekolah tidak ditopang oleh fasilitas yang memadai, maka akan berdampak pada mutu pendidikan pula.
Pertanyaannya kemudian adalah; mungkinkah pendidikan murah yang berkualitas, baik dari segi fasilitas maupun problem-problem yang kerap didapati para pendidik, akan terealisir?
Ide dan gagasan.
Upaya menuju sebuah sistem pendidikan yang ideal (Baca, pendidikan yang murah, ilmiah dan demokratis untuk rakyat) tentunya bukan perkara mudah, dan bukan pula menjadi perkara yang mustahil untuk dilakukan, Bukankah, perjalanan panjang selalu dimulai dari langkah kecil? Langkah awal itu bisa dimulai, dari political will Pemerintah. Selain itu, partisipasi semua kalangan masyarakat akan sangat mempengaruhi, melapangnya cita-cita dan keinginan luhur para Pendiri Negeri ini dalam perkara mencerdaskan kehidupan bangsa.
Lantas, mekanisme seperti apakah yang mempermudah proses interaksi semua pihak dalam berpartisipasi mewujudkan sebuah pendidikan yang ideal. Di bawah ini, akan dipaparkan konsepsi pengelolaan pendidikan yang mampu mengakomodir problem-problem yang hinggap di dunia pendidikan kita.
Pondok Pesantren Teknologi Ulul Abshar; Studi Kasus system pendidikan mandiri di Banten
Diantara banyak sistem pengelolaan pendidikan yang ada, Pondok Pesantren Tenologi (Ponpestek) Ulul Abshar, terletak di Desa Pabuaran, Ciomas Banten. Menerapkan pola pengelolaan sistem kemandirian dalam membina anak didiknya. Pesantren yang baru berdiri hampir tiga tahun ini, sejak awal membekali peserta didiknya dengan kurikulum yang lengkap dan berkualitas. Mulai dari teknologi pertanian, perkebunan, peternakan, dan industri. Pesantren ini juga mengajarkan bahasa Arab, Inggris, dan Jepang. Selain itu, di sini juga dilengkapi dengan materi ekstrakulikuler seperti kaligrafi, jurnalistik, pidato tiga bahasa, dan kepramukaan. Belum lagi, materi keagamaan dan umum yang lengkap.
Sebagai sebuah pesantren yang berbasis teknologi, pesantren ini memiliki media praktek seperti lahan pertanian, peternakan, dan perindustrian. Media belajar-mengajar yang tersedia disini, memungkinkan objek didiknya untuk mengaplikasikan ilmunya langsung, dalam karya nyata.
Pada Bidang Pertanian misalnya, Pesantren ini mengembangkan budidaya padi, cabe, pepaya, jeruk nipis, dan jeruk limau. Pada Bidang Peternakan, melakukan pengembangan ternak ikan mas, ikan gurame, ikan nila, ternak kambing, ternak ayam, dan ternak burung merpati. Adapun dalam Bidang Perindustrian, pesantren ini mengembangkan industri jahe instant dan sirup jahe yang telah berkembang pesat, bahkan jahe tersebut telah dipasarkan sampai Palembang .
Menariknya, pesantren ini tidak membebankan biaya yang memberatkan santrinya untuk sekolah di sini. Para santri diperbolehkan membayar biaya pendidikan sesuai dengan kemampuannya.
Misalnya, ada salah satu santri yang ingin mondok, hanya berkemampuan memberikan beberapa ekor ayam, kemudian si santri tersebut juga di didik untuk memelihara ayam tersebut hingga berkembang pesat. Dimana hasilnya, dapat memenuhi kebutuhan hidup dirinya, selama mondok di Pesantren tersebut.
Selain itu, si santri juga dipekerjakan mengelola industri Jahe dan pemanfaatan lahan Pesantren, semisal; menanam padi, cabe, jeruk nipis, papaya dll. Hasil produksinya dapat membuat kehidupan para Santri menjadi survive.
Sistem pengelolaan pendidikan di Pesantren ini, setidaknya telah berkemampuan menerapkan sistem pendidikan biaya murah, kurikulum berkualitas, dan pendidikan alternatif yang mandiri. Semua Santri bisa sekolah sambil bekerja, dan tidak dibuat manja. Diri si Santri tertanam jiwa entrepreneur (Jiwa Kewirausahaan) dimana berkemampuan menciptakan lapangan kerja dan menanggulangi pengangguran
Sekolah mandiri; Sebuah Alternative.
Berkaca pada contoh kasus di atas, akhirnya memaksa kita berpikir apakah patut bagi kita untuk merombak sistem pendidikan kita, menjadi sebuah sistem pendidikan alternatif yang dapat mengakomodir peliknya permasalahan dunia pendidikan di Indonesia . Gagasan tersebut, dapat diwujudkan dengan enam pilar.
Enam pilar tersebut diantaranya Yaitu:
1. Kurikulum yang berkualitas.
Kurikulum berkualitas adalah langkah awal untuk membentuk system pendidikan yang ideal. Kurikulum yang ideal, setidaknya harus mengakomodir seluruh kebutuhan siswa, sesuai dengan kondisi objektif dari kemampuan siswa itu sendiri. Agar dapat memenuhi tuntutan zaman serta lingkungan hidupnya. Kurikulum yang saat ini dibutuhkan adalah kurikulum yang berbasis pada kompetensi dan keterampilan hidup.
2. Sarana dan prasarana yang memadai.
Hal ini menjadi penting, karena akan sangat menunjang bagi terselenggaranya suatu sistem pendidikan yang integrated education system dimana materi pendidikan yang diberikan, dapat lebih mudah menyerap, karena didukung oleh kondisi sarana yang memadai. Menyangkut sarana adalah adanya lahan atau media praktek yang dapat membuat obejek didik mempraktekkan dan mengaplikasikan ilmunya, dalam karya nyata.
3. Tenaga pengajar yang berkualitas.
Peran para tenaga pengajar, sebagai penyampai kurikulum tadi, harus menjadi prioritas utama, sebab akan berpengaruh pada baik atau tidaknya materi yang akan disampaikan, kepada objek didik.
4. Pendidikan jiwa kemandirian dan moral objek didik
Sebagus apapun kurikulum yan dibentuk, tanpa adanya penanaman jiwa kemandirian, hanya akan membuat bangsa Indonesia menjadi bangsa budak yang menggantungkan hidup pada belas kasihan orang lain. Apalagi, dalam kaitannya dengan moral bangsa, tanpa adanya pendidikan moral, maka bangsa Indonesia tidak akan menjadi bangsa yang maju. Sehingga hanya akan acapkali digerogoti oleh para manusia biadab yang terlahir dari sistem pendidikan yang tidak berbasis pada pendidikan moral.
5. Unit usaha mandiri
Sebuah usaha yang memungkinkan sekolah tidak begantung pada uang iuran siswa dan bantuan dari pemerintah atau donator. Unit usaha ini tidak boleh membuat siswa malas, maunya disuapi terus. Melainkan, usaha dapat melibatkan siswa dalam kegiatannya, sekaligus menjadi sebuah media pangajaran dan pendidikan bagi para siswa.
6. Lingkungan pendidikan yang kondusif
Lingkungan pendidikan mencakup dua hal utama yaitu; lingkungan perundang-undangan, dan lingkugan social. Kedua hal ini menjadi absolut diperlukan. Sekolah merupakan salah satu bagian dari sistem kehidupan masyarakat, dimana begitu dipengaruhi oleh kondisi lingkungan masyarakatnya. ***
sumber: WongBanten@yahoogroups.com
Dari: "Abdul Latief" (abdullatiefku@gmail.com)
Mon, 5 Jan 2009 14:59:42 +0700