Oleh: Andi Achdian
Dunia Yang Terbelah
"Rural youth, that is, the teen-age boys and young men, handle themselves toward their society with a great deal of independence … In a real way, at this age, they are beyond social law—bright, curious, forever under foot, but never seriously rebuked or disciplined… Congruent with this high degree of independence and solidarity is the unique social role assigned to youth by the villager and indeed by Javanese society in general. The djaka, or, as they are more often called, the pemuda (a term expressive of their ‘dynamic’ character and the prefered term among modernist), are given powerfull social license by their society to take on the more vigorous, emotionally arousing social tasks requiring brusque, aggressive, even socially violent action … In the eyes of the Javenese the “youth” were the guerrilla fighters par-excellence in the postwar struggle against the Dutch. They have also been consistently the vanguard for political struggle in rural Modjokuto."
(Robert R. Jay. Religion and Politics in Rural Java, 1963: 90-93)
Jay menulis komentar ini ketika ia melakukan penelitian lapangan di wilayah Kediri, Jawa Timur, pada dekade awal tahun 1950an. Dan tidak disangkal, banyak peneliti asing tentang Indonesia telah terkesan dan menulis mengenai sifat ’dinamis’ pemuda yang dalam istilah Jay disebut sebagai ’guerrilla fighters par-excellence’ atau ‘vanguard for political struggle’ di wilayah kajiannya. Salah satunya adalah ilmuwan politik terkenal di Indonesia, Benedict Anderson yang mengabadikan sifat dinamis itu sebagai motor penggerak dari revolusi Indonesia [Benedict Anderson: 1972]. Dari fakta sosial dan kultural semacam ini, idealisasi konsepsi pemuda dalam kehidupan politik Indonesia kontemporer terus terabadikan seperti tertuang dalam ritual tahunan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober yang dikenang sebagai tonggak ketika kaum muda Indonesia menjadi motor penggerak lahirnya sebuah bangsa bernama Indonesia.
Meskipun demikian, dalam sebuah real-politics atau kenyataan rutin kehidupan sehari-hari, pemuda tidak mengalami hidup seindah citra yang dibentuk dalam konsepsi budaya dan ritual politik Indonesia. Siapapun harus siap kecewa—terutama kaum muda itu sendiri—ketika mereka harus hidup dalam dunia nyata dan mempertanyakan peran apa yang harus diambil dalam masyarakat mereka. Sifat paradoksikal dari dunia pemuda dan kehidupan nyata yang mereka alam—terlepas dari bagaimana idealisasi terhadap konsepsi pemuda dalam masyarakat Indonesia—dinyatakan dengan baik oleh Clifford Geertz yang dalam dekade sama dengan Jay mengamati kehidupan masyarakat Indonesia, tepatnya di bagian timur pulau Jawa ketika ia mengamati hasil sistem pendidikan barat yang menghasilkan sebuah kelompok sosial yang lepas dari dunia sosial mereka, tetapi tidak jelas betul bagaimana posisinya. Seperti Geertz katakan ‘this emergent Indonesian “youth-culture”, made up of an intense, idealistic, and perpelexed group of young men and women who have suddenly been projected into a world thay never made ...’[Clifford Geertz. 1976: 378].
Dalam kehidupan sehari-hari politik Indonesia sekarang ini, sifat paradoksikal tersebut tidak dapat disangkal timbul tenggelam dalam setiap moment ketika keresahan dan situasi sosial menuntut idealisme pemuda tampil ke permukaan. Dalam kaitan ini, seperti belum lama ini kita bisa amati dalam media massa Indonesia, sekelompok pemuda di Jakarta telah mendeklarasikan sebuah tuntutan tentang pentingnya pemuda mengambil peran kepemimpinan dalam masyarakatnya. Agak mengherankan memang, cetusan yang ditampilkan bukanlah sebuah dunia baru dari ‘masyarakat lama’ Indonesia yang membutuhkan dinamika baru, tetapi lebih pada cetusan ‘perang generasi’ yang mana kelompok pemuda ini menyalahkan kerusakan sosial, politik dan ekonomi Indonesia sekarang ini pada senior-senior mereka yang menduduki kursi kekuasaan. Bukan sebuah ‘revolusi’ atau agenda politik yang menawarkan dinamisme pemuda yang tampil dalam cetusan tersebut, tetapi lebih pada sebuah posisi dalam masyarakat yang memang jauh dari gapaian kelompok tersebut. Tidak mengherankan bila kemudian muncul tantangan dan kritik bahwa soal kepemimpinan bukanlah soal perbedaan generasional, tetapi lebih pada kapasitas, pengalaman dan visi seseorang. Selain itu, kepemimpinan bukan sesuatu yang dapat diminta, melainkan direbut untuk kemudian dijalankan.
Apa Kata Sejarah?
Pemuda dan karakter dinamisnya pada dasarnya bukan cuma pengalaman unik Indonesia. Sejarah dunia telah menunjukkan bagaimana kaum muda menempatkan diri sebagai sebuah kekuatan kolektif menjebol tatanan mapan dan memimpikan dunia baru. Revolusi Kebudayaan di Tiongkok menunjukkan bagaimana anak-anak muda keluar dari kehidupan keluarga mereka, membentuk brigade-brigade kampung dan desa dengan membawa buku kecil merah berisi ajaran Mao Tse Tung tentang revolusi di Tiongkok yang belum selesai. Dalam tataran politik formal, tidak dapat disangkal bahwa revolusi kebudayaan adalah bagian dari sebuah pertarungan politik antara elit kekuasaan di Tiongkok saat itu. Tetapi dinamikanya ada di tangan kaum muda. Bisa dibayangkan, tokoh terhormat revolusi sosialis Tiongkok, Deng Xiao Ping, misalnya, telah dicaci maki oleh orang-orang muda belia yang sebelumnya tidak lebih bayi merah ketika Deng membangun tentara petani menggulingkan kekuasaan Chiang Kai sek.
Di benua Eropa, mungkin kita dapat mengingat bagaimana mahasiswa Prancis memulai revolusi melawan pemerintahan De Gaule pada bulan Mei 1968. Kalau awalnya tuntutan mahasiswa bergerak memprotes seputar kejumudan sistem pengajaran di perguruan tinggi Prancis saat itu, namun kemudian pergerakan itu tumpah-ruah kejalanan, membangun barikade-barikade menuntut transformasi radikal dalam dunia sosial Prancis yang telah mapan pada saat itu. Filsuf ternama Prancis, Jean Paul Sartre, yang terkenal dengan aliran existensialismenya turut menjadi bagian gelombang ini. Dinamika pemuda dalam revolusi Mei 1968—meskipun kemudian dikalahkan—menjadi lambang bagi filsuf itu untuk melihat dimensi subyektif manusia menjebol sebuah struktur sosial, politik, budaya yang menjadi kerangkeng manusia.
Dan terakhir mungkin bisa dilihat pula apa yang disebut sebagai ‘generasi bunga’ pada yang berpengaruh besar terhadap kehidupan sosial politik Amerika Serikat pada dekade 1960an dan 1970an. Semangat jaman dekade tersebut sampai saat ini masih dapat kita rasakan melalui ikon-ikon pop dunia seperti The Beatles dengan lagu berjudul Revolution dalam raungan suara gitar elektrik bernada Rock N Roll yang mencerminkan semangat jaman penuh pemberontakan saat itu, atau lengkingan gitar Jimi Hendrix serta lirik-lirik anti perang yang dibawakan oleh Joan Baez, Bob Dylan dan sebagainya. Tak urung, rejim militer Orde Baru pada saat mulai berkuasa telah mengkhawatirkan pengaruh dari tingkah polah generasi bunga itu seperti tercermin dalam tanggapan mereka menghadapi aksi-aksi pemuda yang memprotes rejim tersebut yang kemudian dikenal sebagai Malari pada tahun 1974.
Dalam pengalaman Indonesia, barangkali gambaran yang paling menonjol tercetus melalui pengalaman revolusi pada tahun 1945 ketika kaum muda menyerukan pada Sukarno-Hatta untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Memperhatikan dinamika ini, Benedict Anderson telah mengukir dalam karya klasiknya mengenai revolusi Indonesia dengan mengatakan ‘bahwa peranan inti pada awal pecahnya revolusi [Indonesia] itu diambil, bukan oleh para cendikiawan yang terasingkan, bukan juga kelas-kelas utama yang tertindas, melainkan oleh kaum muda, atau sebagaimana orang-orang Indonesia menyebutnya sebagai pemuda...” [Anderson: 1972]. Rekaman yang sangat hidup mengenai pemuda dalam revolusi Indonesia bisa kita lihat dari tesis sejarah seorang pemuda brilyan, Soe Hok Gie, yang dalam bagian ini akan banyak dikutip [Soe Hok Gie, 1997:128-137].
Ketika menceritakan revolusi Indonesia dan kaitannya dengan peran pemuda, Gie mengatakan bahwa ‘bagi pemuda-pemuda Indonesia umumnya revolusi mempunyai arti yang lebih luas dari sekedar daripada kemerdekaan bangsa, kedaulatan negara dan kemerdekaan ekonomi.’ Semangat jaman pemuda, seperti dikatakan Gie, ‘adalah pembaharuan atas segala nilai-nilai hidup.’ Revolusi, sebuah periode ketika tatanan lama goyah dan tatanan baru belum jelas terbentuk, dan dorongan terpenting bagi kaum pemuda saat itu adalah kesadaran mereka untuk menempatkan diri sebagai ‘pembebas penderitaan rakyat.’ Mereka [pemuda-pemuda revolusi], ‘seolah-olah bersumpah pada rakyat bahwa mereka akan menghilangkan kemiskinan dengan kemerdekaan. Dan secara tidak sadar mereka dikejar-kejar oleh ‘sumpahnya’ tadi.’
Dalam tingkat ekstrem, ekspresi pembaharuan ini menjalar pada tingkat kehidupan sosial lama yang menyinggung ‘ikatan keluarga dan perkawinan’. Revolusi telah membawa penempatan baru bagi para pemuda untuk berjarak pada hubungan ‘ayah dan anak’ sejauh terjadi pertentangan ideologi di antara mereka. Contoh kasus adalah kemarahan Mayor Wiranatakusumah ketika mengetahui ayahnya, R.A. Wiranatakusumah memproklamasikan diri sebagai kepala negara Republik Pasundan. Bahkan dalam suasana revolusioner seperti itu, Bung Tomo, yang sengaja memelihara rambut gondrongnya, pernah bersumpah bahwa ia ‘tidak menjalankan kewajiban dan hak sebagai suami-istri sebelum ancaman terhadap kedaulatan negara dan Rakyat dapat dihalaukan. Tetapi yang terpenting dari segala ekspresi pemuda dalam revolusi, seperti dikatakan Gie, adalah:
Jika pada nilai-nilai dasar yang essensial perkawinan, hubungan ayah dan keluarga telah ‘dilanggar’ oleh revolusi, maka nilai-nilai lain yang lebih formal dengan mudah dilepaskan pula. Sikap terhadap pamong praja, terhadap bangsawan-bangsawan feodal ataupun terhadap hubungan lainnya lebih mudah dilanggar. Dalam suasana psikologis dan demam revolusi terjadi Peristiwa Tiga Daerah, revolusi sosial di Sumatra Timur, revolusi sosial di Solo, pembunuhan orang-orang Cina di Tangerang, Bumiayu dan lainnya. Semuanya bersumber pada pemberontakan dari nilai-nilai baru (yang sangat diak jelas untuk kebanyakan pemuda sendiri) terhadap nilai-nilai lama. Bagi pemuda umumnya revolusi berarti tantangan untuk mencari nilai-nilai baru dan pencarian inlah kita akan mengerti frustasi-frustasi yang timbul kemudian.
Analisis cerdas Gie dalam uraiannya mengenai revolusi Indonesia mengantarkan kita pada aspek essensial peran pemuda dalam proses sejarah di negeri ini. Segala unsur remeh yang banyak dilecehkan dan dicela oleh mereka yang berada dalam dunia mapan—seperit hubungan seksual yang longgar, anti-lembaga perkawinan dan kegarangan pemuda—bagi Gie adalah riak saja yang menunjukkan potensi bagi mudahnya mereka ‘melanggar nilai-nilai lain yang lebih formal’ dalam dimensi sosial, ekonomi dan politik masyarakat.
Dapat disimpulkan bahwa apa yang dikatakan sejarah terhadap sosok pemuda—baik di Indonesia maupun di luar—adalah fakta bahwa mereka adalah kekuatan utama yang membawa dengan gigih sebuah ‘semangat jaman’ baru bagi masyarakatnya. Pengalaman ketika reformasi politik di Indonesia bergulir pada bulan Mei 1998 sedikit banyak memberikan betapa gambaran yang ditunjukan Gie lima dekade berikutnya muncul dalam kehidupan kontemporer kita. Dengan demikian, apabila ada tuntutan pada periode baru-baru ini mengenai peran pemuda dan kepemimpinan, sesungguhnya itu baru satu aspek yang kecil dalam peran sejarah pemuda. Pokok terpenting adalah semangat jaman seperti apa yang akan diwakili para pemuda Indonesia saat ini, bukan pada posisi kepimpinan yang lebih merupakan milestone kecil hasil sebuah pertarungan politik (dan sudah barang tentu bukan sesuatu yang diberikan).
Dari Ujung Barat Indonesia
Untuk berkaca tentang bagaimana kaum muda menjalankan peran dan fungsi dalam dunia politik saat ini, tidak ada tempat paling menarik sebagai pembelajaran selain apa yang terjadi di wilayah paling barat Indonesia saat ini: Nangroe Aceh Darussalam. Mengapa Aceh menjadi rujukan dan apa yang dilakukan kaum muda Aceh sehingga patut menjadi pembelajaran? Pertama-tama mungkin sifatnya romantis. Tidak ada satu wilayah yang mana para pahlawannya telah begitu banyak memberikan kebanggaan terhadap Indonesia. Di hampir setiap kota besar, nama-nama seperti Cut Nyak Din, Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro begitu banyak menjadi simbol dari perjuangan Indonesia. Untuk membangun harga diri dan kebanggaan sejarah perjuangan Indonesia, kita banyak berhutang pada orang-orang yang berasal dari wilayah ujung barat Indonesia tersebut. Bahkan, di era yang mana banyak orang Indonesia tidak sadar sejarah, masih dengan mudah penduduk negeri ini sampai mereka yang duduk di sekolah dasar untuk mengenal siapa itu Cut Nyak Din atau Teuku Umar misalnya.
Kedua adalah karena situasi sosial dan politik yang ada di wilayah itu saat ini. Perjanjian Damai di Helsinki antara pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) telah menciptakan sebuah situasi yang disebut seorang ilmuwan politik sebagai political opportunity structure [Sidney Tarrow, 1982] bagi aktor-aktor politik di Aceh, termasuk kaum muda mereka. Berada di wilayah NAD saat ini, kita dengan cepat dapat menangkap sebuah situasi jaman di kalangan kaum muda untuk merumuskan dan membawa Aceh Baru dalam kehidupan sosial politik masyarakat yang telah hancur lebur oleh perang selama beberapa dekade dan juga bencana Tsunami.
Karakter ini dapat dilihat dari salah satu sosok yang muncul di Aceh, yaitu Aguswandi, yang merupakan tokoh intelektual muda Aceh sekaligus sekarang menjadi ketua umum Partai Rakyat Aceh. Perjalanan hidupnya cukup menarik dan dapat kita bandingkan dengan tokoh-tokoh pendiri bangsa ini. Dia lahir dari keluarga petani biasa di Aceh, dan masuk sekolah menengah umum (SMU) di Banda Aceh dan menjadi mahasiswa Syiah Kuala. Aguswandi tumbuh besar ketika ‘perang dalam negeri’ menjadi bagian dalam sejarah Aceh, dan ia dapat dikatakan sebagai ‘generasi perang’ seperti juga rekan-rekan sebayanya.
Ketika kuliah, ia membentuk apa yang disebut sebagai Solidaritas Mahasiswa untuk Referendum (SMUR) yang sekaligus menjadi dasar baginya menempati posisi nomor satu orang populer di Aceh dalam sebuah polling pada tahun 1999. Tuntutannya atas referendum di Aceh, dan popularitasnya, menyebabkan ia kemudian menjadi buronan politik rejim Orde Baru yang memaksanya secara sembunyi-sembunyi meninggalkan Aceh dan Indonesia (dan sudah barang tentu keluarga dan sahabat) untuk hidup sebagai pelarian politik di negara orang (Inggris). Hanya perjanjian damai Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005 yang memungkinkannya kembali ke tempat ia dilahirkan di Banda Aceh, bersama-sama pelarian politik Aceh yang tinggal di berbagai negara.
Fakta paling menarik adalah ketika ia menulis dan menerbitkan buku berjudul “9 Langkah Memajukan Diri Membangun Aceh Baru” pada awal tahun 2007. Di dalam buku ini, Aguswandi menulis 9 hal yang menurutnya penting sebagai modal dasar membangun Aceh Baru, seperti belajar bahasa Inggris, membangun etika kerja keras yang modern, merangkul proses globalisasi dan lain sebagainya. Pokok inti dari apa yang dapat kita lihat dalam karya tersebut adalah sebuah gambaran tentang sosok pemuda—yang termasuk juga dapat dilihat dalam gambaran rekan-rekan segenerasinya di Aceh saat ini—yang sibuk memikirkan kondisi masyarakatnya dan menawarkan sebuah formula yang diyakini dapat membawa kebaikan bagi masyarakat. Eksperimen-eksperimen semacam ini terus berjalan, dan dinamika pemuda yang menjadi denyut nadi perubahan dalam sejarah Indonesia dapat kita temukan di Aceh saat ini. Dalam kondisi ini, banyak karakter dan sosok pemuda seperti Aguswandi yang dalam enerji muda mereka sibuk memikirkan apa yang baik buat masyarakatnya. Mereka membangun partai politik (seperti Partai Rakyat Aceh) atau organisasi massa (seperti Sentral Informasi Referendum Aceh, SIRA) dan kebanyakan mereka memiliki hasrat politik luar biasa membangun masyarakat dan menyusun kekuatan untuk menguasai institusi-institusi politik formal (dan tidak meminta untuk menjadi pemimpin seperti dalam pengalaman kita baru-baru ini).
Dalam kaitan ini, dinamika kaum muda Aceh dapat menjadi pembelajaran bagi kita semua di Indonesia. Mereka tengah mewakili sebuah semangat jaman yang mana perubahan-perubahan yang mereka inginkan—meskipun belum jelas benar bagaimana akibat perubahan itu nantinya—dijalankan dengan serangkaian eksperimen dan dinamisme pemuda. Aceh Baru adalah sebuah cita-cita besar—lebih dari sekedar tuntutan ingin menjadi pemimpin—yang memang tumbuh dalam sebuah masyarakat yang tengah berubah dengan cepat. Mampukah kita?
Indonesia Baru
Sebagai penutup, setidaknya ada sebuah tantangan yang perlu dilontarkan dan perlu kita jawab bersama: dengan alasan apa kita bergerak? Masalah besar apa yang dihadapi masyarakat Indonesia sehingga para pemudanya perlu bergerak? Cita-cita yang bagaimana yang dapat menggerakan semangat psikologis dan karakter dinamis pemuda di Indonesia saat ini? Ini adalah pertanyaan-pertanyaan dasar bagi kita semua ketika kita mencoba menempatkan posisi pemuda dalam sebuah arena politik.
Barangkali kita bisa meniru rekan-rekan kita para pemuda di Aceh yang bermimpi untuk membangun Aceh Baru. Kita bisa menamakannya sebagai Indonesia Baru dan kita harus memiliki sebuah cita-cita tentang bagaimanakah karakter Indonesia Baru? Apakah kita sekarang masih memiliki sebuah rasa bangga ketika menyatakan diri sebagai orang Indonesia? Dan apabila tidak, lalu bagaimana caranya kita bisa menjadi bangga? Ringkas kata: Ayo bergerak untuk Indonesia Baru.
Anderson, Benedict R.O.G . Java in a Time of RevoluHon; Occupation and Resistance 1944-1946, Ithaca: Cornell University Press. 1972.
Jay, Robert R. Religion and Politics in Rural Central Java. Cultural Report Series No. 12. Yale University, New Haven. 1963.
Soe Hok Gie. Orang-Orang di Persimpangan Kiri Jalan. Bentang Budaya, Yogyakarta. 1997.